Bagaimana Seharusnya Cara Media Beritakan Kekerasan Seksual?

Pelayananpublik.id- Berita tentang kekerasan seksual seringkali dianggap salahsatu isu menarik. Sayangnya banyak media yang menyajikan berita kekerasan seksual seolah menjadi cerita yang sedap didengar.

Tak jarang media justru seolah menyudutkan korban dan mewajarkan perbuatan pelaku lewat diksi-diksi bias.

Nah, jadi bagaimana seharusnya cara media memberitakan kekerasan seksual?

bank sumut selamat hari raya idul fitri

Prinsip utama dalam memberitakan kekerasan seksual adalah perlindungan kepada korban termasuk identitasnya.

Hal ini dikatakan Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis dalam webinar “Kode Etik Penulisan Berita Kekerasan Seksual Pada Perempuan Dan Anak” yang digelar secara online, Sabtu (27/8/22).

Uni menyoroti bahasa yang sering digunakan media dalam memberitakan kekerasan seksual. Ia meminta wartawan menghindari diksi yang terkesan menormalisasi dan meromantisasi perilaku kejahatan seksual.

“Pemerkosa dan kejahatan seksual pada dasarnya adalah aksi kekerasan atas korban, tak peduli korbannya luka atau tidak secara fisik. Maka, gunakan “laporan pemerkosaan” ketimbang “dugaan pemerkosaan”. Kata “dugaan” tidak netral dan mengisyaratkan keraguan media atas kejahatan yang dilaporkan. Soal diksi ini wartawan rajin-rajinlah membuka KBBI dan hindari kata-kata yang tidak tepat seperti: menggagahi, menggauli, menyetubuhi, suka sama suka dan seterusnya,” terang Pemred IDN Times tersebut.

Ia juga menyarankan untuk menggunakan istilah “pemerkosaan yang dilakukan kenalan korban” daripada “pemerkosaan oleh teman kencan”. Hal ini biasanya digunakan saat korban ternyata kenal dekat dengan pelaku.

Dalam kesempatan yang sama Founder Konde.co/AJI Luviana memaparkan hal-hal yang harus diperhatikan wartawan saat membuat berita atau peliputan kekerasan seksual. Salahsatunya adalah jurnalis tidak mewawancarai anak yang menjadi korban kejahatan seksual.

“Mewawancarai anak terutama korban kejahatan seksual akan membuatnya merasa mengalami kekerasan yang sama dua kali dan dapat memicu trauma yang lebih mendalam,” kata dia.

Selain itu jurnalis juga tidak dibenarkan mewawancarai anak yang dalam perlindungan LPSK.

Kemudian ia juga menyoroti bahasa yang digunakan dalam pemberitaan khususnya kekerasan seksual. Yakni jurnalis tidak seharusnya menggunakan bahasa bernuansa opini seperti “menggunakan pakaian mini”, “pulang malam”, “wanita cantik dan seksi”.

“Contohnya dalam berita ‘Pulang Malam, Gadis SMA Diperkosa”. Seolah-olah penyebab kejadian itu adalah pulang malam. Jangan membuat stigma seolah kalau perempuan pulang malam, berpakaian seksi, cantik dan sebagainya layak menjadi korban kejahatan seksual,” jelasnya.

Luviana menyebutkan, saat ini AJI bersama Komnas Perempuan dan Dewan Pers sudah membuat rancangan untuk buku panduan penulisan pemberitaan korban kekerasan seksual pada perempuan dan anak.

“Tapi sampai sekarang belum dibahas lagi. Maka, teman-teman FJPI dan KemenPPPA bersama AJI bisa mendorong agar ini bisa menjadi panduan pemberitaan. Mengapa seperti itu? Karena ini resep konde tahun 2020 tentang RUU PKS saat itu. Hampir semua media menuliskan sahkan RUU PKS tetapi media itu tidak konsisten ketika menuliskan “digagahi, dicabuli” seperti temuan mbak Uni tadi. Jadi, media ini inkonsistensi walau menuliskan sahkan RUU PKS tadi,” bebernya.

Kepala Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KemenPPPA Indra Gunawan, mengapresiasi kegiatan tersebut.

Ia berharap bisa terus bersinergi dengan pers dalam kampanye anti kekerasan seksual serta perlindungan perempuan dan anak. (*)