FJPI Dorong Perusahaan Pers Terbitkan SOP Penanganan Pelecehan Seksual

Pelayananpublik.id- Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja termasuk lingkungan kantor tempat bekerja. Pelecehan seksual di lingkungan kerja harus dipandang sebagai permasalahan serius karena bisa menimbulkan kerugian bagi korbannya.

Jurnalis juga merupakan pihak yang rentan mengalami pelecehan seksual baik di lapangan maupun di kantor.

Kasus pelecehan seksual yang menimpa jurnalis seringkali menjadi fenomena gunung es karena penanganan yang tidak serius sehingga korban memilih diam.

hari jadi pelayanan publik

Terkait itu, perusahaan pers perlu menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) penanganan kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa karyawannya.

Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Uni Lubis dalam acara Launching Survei FJPI dan Webinar bertajuk ‘Sharing Kondisi dan Strategi Jurnalis Perempuan di Masa Pandemi’ mengatakan SOP penanganan kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan kerja sangat penting.

“Jadi peran media dalam mendukung UU TPKS, bukan hanya jurnalis yang bertugas mengedukasi berita tapi perusahaan pers juga menyediakan SOP penanganan kekerasan seksual,” ungkap Pimpinan Redaksi IDN Times tersebut, Sabtu (25/6/2022).

Ia juga mengungkapkan sebagai pemimpin redaksi, ia telah menerbitkan SOP penanganan kekerasan seksual di kantornya.

Dalam SOP yang diterbitkannya untuk IDN Media, dijelaskan jenis-jenis pelecehan seksual yang bukan hanya aktivitas seksual, tapi bisa juga ucapan, pandangan dan tindak tanduk yang membuat korban keberatan.

Selain itu dalam SOP itu juga tertuang bagaimana cara korban melapor dan sanksi bagi pelaku yang terbukti bersalah yakni PHK tanpa pesangon.

Uni juga mengatakan dirinya telah menyampaikan hal ini kepada Dewan Pers. Ia memastikan Dewan Pers akan menerbitkan SOP penanganan kekerasan dan pelecehan seksual di perusahaan media.

“Saya sudah koordinasi dengan teman-teman di Dewan Pers. Mereka juga akan menyiapkan pedoman penanganan kekerasan seksual di perusahaan media,” katanya.

Sebelumnya, berdasarkan survei yang digelar FJPI, banyak jurnalis perempuan yang mengalami pelecehan seksual selama bekerja. Namun, mayoritas tidak meneruskan atau membuat laporan resmi.

Selain itu, sebuah studi PR2Media pada akhir 2021 yang menemukan bahwah hampir 90 persen jurnalis perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual dalam karier mereka.

Mayoritas jurnalis perempuan Indonesia (86%) pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka.

Riset terbaru yang dilakukan PR2Media pada akhir 2021 menunjukkan kekerasan itu terjadi di ranah fisik dan digital, bersifat seksual dan non-seksual, dengan bentuk sangat beragam. Selain tindakan langsung, kekerasan juga terjadi dalam bentuk diskriminasi gender di kantor.

Riset ini berlangsung selama Agustus-Oktober 2021. Ada sekitar 1.256 jurnalis perempuan di 191 kota dan kabupaten yang mewakili Indonesia bagian barat, tengah, dan timur yang menjadi responden.

Kami menemukan sebanyak 1.077 jurnalis (85,7%) pernah mengalami kekerasan. Hanya 179 responden (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali.

Sementara, jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh responden adalah komentar negatif terkait tubuh atau body shaming secara lisan atau tatap muka (59%).

Menurut pernyataan para responden dan informan riset, kekerasan bisa terjadi karena alasan profesional (terkait liputan) (28%), alasan seks dan gender (semata karena mereka perempuan) (29%), dan gabungan keduanya (31%). Alasan profesional ini biasanya terkait dengan topik liputan yang “sensitif” dan melibatkan penguasa, lingkungan, polemik keagamaan, dan gender atau seksualitas (LGBTIQ).

Cara yang paling banyak dilakukan responden (52%) saat mengalami kekerasan adalah melaporkan ke atasan atau rekan kerja, organisasi terkait (29%), dan mengajukan tuntutan hukum (10%). (*)