“Saya memiliki teman usia di bawah 19 tahun yang mengalami kehamilan tidak diinginkan dan menikah, dimana dia kemudian mengalami KDRT dan terjadi keributan. Usia 19 tahun laki-laki dan perempuan masih emosional”,
Hal ini diungkapkan oleh Wilda (19 tahun) perwakilan Perwakilan Forum Perempuan Muda (FPM), dampingan LP2M Sumbar, salah satu lembaga Anggota Konsorsium PERMAMPU pada Perayaan Hari Anak Nasional yang diselenggarakan oleh PERMAMPU 25 Juli 2023 lalu. Perayaan ini dilaksanakan secara hybrid dan berpusat di Medan, dengan melibatkan anggota Konsorsium yang tersebar di 8 provinsi, dari Aceh hingga Lampung.
Kegiatan ini mengusung tema “Ngobrol Kritis Anak Muda Sumatera; Perkawinan Di bawah 19 Tahun dari Sudut Pandang Anak Muda”, diikuti 129 peserta yang 90an di antaranya adalah perempuan muda berusia antara 15 s/d 25 tahun. Selebihnya adalah 2 laki-laki muda pendukung FPM, serta perwakilan Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Sumatera dan personil 8 lembaga anggota PERMAMPU.
Perayaan ini mendengarkan pandangan 8 pembicara yang terdiri dari 7 perempuan dan 1 laki-laki dari perwakilan FPM dampingan Flower Aceh-Aceh, PESADA-Sumatera Utara, LP2M-Sumatera Barat, APM Jambi-Jambi, PPSW Riau-Pekanbaru, CP WCC Bengkulu-Bengkulu, WCC
Palembang-Palembang dan DAMAR-Lampung. Menurut para pembicara, banyak dampak perkawinan di bawah 19 tahun yang dialami oleh temannya maupun yang terjadi di lingkungan mereka bertempat tinggal.
“Mana mungkin anak mengurus anak! Perkawinan anak berdampak pada masa depan, yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian. Umur 18 bahkan 19 tahun belum cukup dewasa untuk memperoleh pekerjaan, atau pendapatan. Umur 25 tahun adalah usia matang untuk rahim perempuan dibuahi”.
Kata Sasta Maria Lumbantobing (17th) yang merupakan pembicara perwakilan FPM dampingan PESADA. Senada dengan ini, Cici Piola (18 tahun) yang berasal dari FPM Riau berpendapat bahwa usia matang untuk menikah adalah usia 20 sampai 25 tahun. Pendapat ini juga menjadi pandangan umum dari para peserta perayaan.
Menurut mereka, di usia itu pola pikir, pendidikan dan kondisi keuangan sudah cukup mampu untuk menghadapi masalah di rumah tangga. Perkawinan di bawah 19 tahun dapat memberi dampak yang bahkan bisa menyebabkan kematian di usia muda.
Suara perempuan muda dan para laki-laki muda pendukung semakin menguatkan Konsorsium PERMAMPU dengan dukungan program INKLUSI untuk fokus memperkuat Program Pencegahan dan Penanganan Perempuan Korban Perkawinan Usia <19 tahun melalui Revitalisasi One Stop Service & Learning (OSS&L) di Puskesmas, menggiatkan Gerakan Pembaharu Keluarga (GAHARU dan melanjutkan perjuangan Forum Perempuan Akar Rumput dalam gerakan perempuan yang Intergenerasional dan Inklusif.
Program PERMAMPU ini juga didasari data KPPPA, dimana angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 11,21% di tahun 2017 dan meski pernah turun ke angka 10,82% tahun 2019; tetapi di masa Covid-19 angka perkawinan anak justru meningkat tajam. Hal ini ditemukan oleh Komnas Perempuan di tahun 2019,dimana terdapat 23.126 kasus pernikahan anak, dan di tahun 2020 jumlahnya naik tajam menjadi 64.211. Sementara target RPJM Indonesia tahun 2020-2024, seharusnya angka perkawinan anak harus turun menjadi 8,74%.
UU 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1 Tahun 1974 yang menyatakan usia 19 tahun sebagai usia perkawinan minimum, harus terus disosialisasikan dan diinternalisasikan di seluruh institusi, khususnya keluarga dan lembaga agama. PERMAMPU menghimbau agar menghindari segala bentuk dispensasi perkawinan d bawah usia 19 tahun dengan terus mengadakan pendidikan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di semua institusi khususnya di keluarga, lembaga pendidikan, dan lembaga kesehatan. (*)