KontraS Catat 50 Praktik Penyiksaan Warga Sipil oleh Aparat dalam Setahun

Pelayananpublik.id- Kekerasan oleh aparat negara terhadap warga sipil masih sering terjadi. Apalagi jika ada protes dari warga, kekerasan tak jarang terjadi dan menimbulkan korban.

Meski sudah sering menjadi perhatian publik, kekerasan aparat masih kerap terjadi.

Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), terdapat 50 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara selama setahun terakhir.

bank sumut selamat hari raya idul fitri

Hal itu dibeberkan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti.

Menurut dia, dari total kejadian tersebut, sebanyak 31 kasus penyiksaan dilakukan oleh aparat kepolisian. Kemudian disusul oleh aparat TNI sebanyak 13 kasus, dan oleh aparat sipil sebanyak 6 kasus.

KontraS memandang banyaknya kasus penyiksaan oleh aparat, baik bersenjata maupun tidak, menunjukkan minimnya komitmen negara untuk menghapus praktik-praktik seperti itu di Indonesia. Walaupun, kata Fatia, Indonesia saat ini sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan.

“Ketidakseriusan Negara untuk menghapus praktik penyiksaan di Indonesia juga terlihat dari tidak adanya perhatian khusus terkait upaya ratifikasi OPCAT,” ujarnya dikutip dari CNN Indonesia, Senin (27/6).

Pihaknya, kata dia, mendapat data tersebut dari hasil pemantauan kanal media informasi, advokasi, serta jaringan-jaringan KontraS di daerah selama periode Juni 2021-Mei 2022.

Smeentara itu, berdasarkan laporan yang dirilis oleh KontraS, dari total kasus penyiksaan yang terpantau itu, setidaknya ada 144 warga negara yang menjadi korban kekerasan oleh aparat. Rinciannya, 126 korban mengalami luka-luka dan 18 korban tewas karena disiksa.

Selain aparat bersenjata, KontraS juga menyoroti adanya pola keterlibatan baru aparat sipil sebagai pelaku tindak penyiksaan terhadap warga.

Salah satunya yakni kasus Kerangkeng Manusia yang dilakukan mantan Bupati Langkat.

Bukan cuma itu, hanya itu, kata Fatia, pihaknya juga menyayangkan masih ada praktik penghukuman cambuk yang terjadi di Aceh dalam kurun waktu tersebut. Pasalnya, hukuman cambuk dinilai kejam dan tidak manusiawi karena merendahkan martabat manusia.

“Beberapa peristiwa di atas memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan, serta ketidakseriusan pemerintah dalam upaya untuk mengakhiri praktik penyiksaan,” tegasnya.

KontraS memandang selama setahun belakangan tidak ada komitmen atau usaha berarti dari pemerintah dan DPR untuk segera membentuk peraturan anti penyiksaan dalam rangka pemajuan HAM.

Selain itu, kepolisian, TNI, dan sipir selaku aktor utama penyiksaan terhadap warga masih menormalisasi tindakan tersebut dan tidak mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan maupun aturan internal institusi.

Karena itu, kata dia, KontraS menilai maraknya kasus penyiksaan itu tidak bisa dilepaskan dari abainya negara terhadap praktik-praktik kekerasan tersebut. Normalisasi terhadap tindakan penyiksaan itulah yang kemudian dinilai menyebabkan terjadinya lingkaran setan yang tidak berujung.

Fatia mendesak para institusi terkait untuk mengevaluasi diri secara menyeluruh, bahkan melibatkan pengawasan eksternal dari lembaga independen.

“Institusi terkait seperti Polri, TNI dan Lembaga Pemasyarakatan juga harus memastikan anggotanya yang terlibat kasus penyiksaan harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku dan mekanisme hukum yang transparan serta dapat diakses oleh publik,” ujarnya.

Selain itu, Fatia menyebut pemerintah juga perlu memaksimalkan peran dan fungsi lembaga negara Independen yang memiliki mandat pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan. Semisal Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, KPAI, dan LPSK.

“Komitmen dari Negara diperlukan untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya,” katanya. (*)