Bukan Indonesia, Inilah Deretan Negara yang Diprediksi Bangkrut Gegara Utang

Pelayananpublik.id- Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang memiliki utang. Meski sudah menumpuk, utang Indonesia ternyata tak lebih banyak dari negara lain contohnya Brazil dan Malaysia.

Menurut laporan Bank Dunia dalam Global Economic Prospect, negara eksportir komoditas seperti Indonesia dan Malaysia sangat diuntungkan oleh lonjakan harga komoditas.

Kedua negara masih bisa menata fiskalnya lebih baik dan bisa merencanakan kebijakan fiskal lebih longgar dalam jangka menengah karena mendapat limpahan penerimaan.

bank sumut selamat hari raya idul fitri

Adapun jumlah utang pemerintah Malaysia per Desember 2021 menembus MYR 979,8 miliar atau 63,4% dari PDB. Rasio tersebut meningkat dibandingkan 60,7% terhadap PDB pada 2020.

Profesor Sunway University Yeah Kim Leng mengatakan meskipun rasio utang Malaysia masih meningkat tetapi masih dalam batas aman karena 97,5% utang Malaysia dalam denominasi ringgit.

“Utang Malaysia yang mayoritas dalam ringgit membuat Malaysia lebih kebal terhadap volatilitas global,” tuturnya.

Sedangkan rasio utang pemerintah Brazil terhadap PDB pada Maret lalu turun menjadi 78,5%, merupakan level terendah dalam dua tahun terakhir.

Menurut trading economics, negara-negara maju seperti Jepang, Prancis bahkan Amerika Serikat pun memiliki rasio utang di atas 100% dari PDB.

Rasio utang mereka jauh di atas negara-negara berkembang ataupun emerging market.

Namun, ketiga negara tersebut merupakan negara maju yang sudah memiliki pijakan ekonomi kuat. Struktur perekonomian mereka juga berbeda dengan negara-negara emerging market apalagi negara berpenghasilan rendah.

IMF mengatakab rata-rata utang pemerintah negara emerging market dan berkembang di Asia berada di angka 71,8% pada 2021. Pada akhir 2021, rasio utang pemerintah China diperkirakan ada di kisaran 60% dari PDB, India sekitar 88%, dan Korea Selatan di kisaran 49%.
Rasio utang tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.

Sama seperti negara lain, negara berpenghasilan rendah juga semakin dililit utang. Rasio utang pemerintah Sudah menembus 259% terhadap PDB pada 2020. Sementara itu, rasio utang Sri Lanka melonjak dari 42% dari PDB  pada 2019 menjadi 104% dari PDB pada 2021.

Kemudian ada Sri Lanka yang dilaporkan gagal membayar utang pada Mei lalu. Kondisi tersebut dipicu krisis ekonomi dan politik yang dipicu oleh pandemi Covid-19 dan perang Rusia di Ukraina.

Inflasi menembus 39,1% pada Mei sementara pemerintah kekurangan cadangan mata uang asing yang dibutuhkan untuk membayar impor.
Sri Lanka telah menangguhkan pembayaran sekitar US$ 7 miliar pinjaman internasional yang jatuh tempo tahun ini, dari total tumpukan utang luar negeri senilai US$ 51 miliar.

Default kini juga mengancam negara Asia lain seperti Pakistan dan Laos.

Sementara itu, rasio utang pemerintah Laos mencapai 55,6% pada 2020 dan negara tersebut kini memiliki utang senilai US$ 14,5 miliar kepada krediturnya. Sayangnya Laos tidak memiliki cukup penerimaan untuk membayar utang.

Hal yang sama terjadi pada Pakistan yang juga memiliki kemampuan mereka untuk membayar utang mengecil sementara beban subsidi menggunung. Padahal, ada utang jatuh tempo senilai US$ 6,4 miliar dalam jangka waktu tiga tahun ke depan.

Rasio utang  Pakistan mencapai 74% dari PDB pada 2021.

Di Afrika Selatan, negara dengan rasio utang terbesar di antaranya adalah Mozambik (133,6%), Angola (103,7%), Kongo (85,4%), Ghana (82,3%), Kenya (69,7%), Rwanda (74,8%), and Afrika Selatan ( 68,8%).

Bank Dunia sebelumnya menyoroti keterbukaan negara-negara berpenghasilan rendah di Afrika. Menurut Bank Dunia 40% dari negara tersebut tidak menerbitkan laporan utang mereka lebih dari dua tahun.

Bank Dunia juga mencatat beban utang negara berpendapatan rendah naik 12% menjadi US$ 860 miliar pada 2020 di mana beban berat ditanggung negara-negara Sub Sahara Afrika.

Sub Sahara Afrika menjadi wilayah yang paling mengkhawatirkan karena banyaknya negara yang akan mengalami goncangan kenaikan harga dan utang akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19. (*)