Pelayananpublik.id- Sikap oknum Satpol PP, Paspampres dan Kepolisian yang mengawal Walikota Medan Bobby Nasution mengusir sejumlah wartawan yang ingin wawancara dianggap tidak menghormati kebebasan pers.
Pasalnya, walikota yang seharusnya menjadi pejabat publik mendukung keterbukaan informasi publik justru “bersembunyi” di balik pengawalan super ketat.
Hal itu dikatakan Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumut, Lia Anggia Nasution dalam menyikapi perustiwa pengusiran wartawan oleh pengawal Bobby yang terjadi kemarin.
Ia menyesalkan sistem pengamanan Wali Kota Medan, Bobby Nasution yang telah menghalangi jurnalis dalam menjalankan tugas-tugasnya di kantor Pemerintah Kota (Pemko Medan).
“Apa yang dilakukan Polisi, Satpol PP dan Paspampres dengan menghalangi jurnalis saat akan melakukan peliputan atau mewawancarai Wali Kota Medan jelas telah melanggar UU No 40 Tahun 1999 tentang pers,” katanya.
Anggi menjelaskan sesuai pasal 4 dalam UU Pers dinyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan.
Untuk menjamin kemerdekaan pers ini, lanjutnya, jurnalis mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan hak tolak sebagai bentuk pertanggungjawaban pemberitaan.
“Jadi jelas apa yang dilakukan polisi dan paspampres telah melanggar UU,” ujarnya, Kamis (15/4/2021).
Ia pun menilai kejadian pelarangan jurnalis untuk melakukan doorstop kepada Wali Kota Medan, merupakan pengangkangan terhadap kemerdekaan pers.
“Apalagi sebagai pejabat publik, Wali Kota Medan harusnya menjadi narasumber yang mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat,” katanya.
Kemerdekan pers yang diamanatkan dalam UU Pers itu jelas bertujuan bagi jurnalis untuk menjalankan pekerjaannya dalam rangka memenuhi hak atas informasi, dan hak untuk tahu bagi masyarakat.
“Ini harusnya menjadi kewajiban negara dalam konteks ini Pemko Medan untuk memenuhi kedua hak tersebut,” kata Anggi lagi.
FJPI Sumut juga mengkritik adanya SOP yang cenderung membatasi peliputan di kantor Pemko Medan. Di mana jurnalis tidak diperbolehkan membawa telepon seluler ke ruang Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan. Tidak bisa melakukan wawancara doorstop dan sulitnya mengetahui agenda Wali Kota Medan.
“Ini jelas merupakan aturan-aturan yang menghalangi jurnalis dalam tugasnya. Sebagai pejabat publik, Wali Kota maupun Wakil Wali Kota Medan harus siap melayani dan siap untuk dievaluasi oleh warganya. Jika menghalangi tugas jurnalis berarti Pemerintah Kota (Pemko) Medan telah mengkebiri kemerdekaan pers di kota Medan,” tegasnya.
Walikota Rasa Presiden
Diketahui pada hari ini, Kamis (15/4/2021) puluhan wartawan gabungan dari berbagai media cetak, media online dan televisi menggelar untuk rasa di depan kantor Walikota Medan Jl Kapten Maulana Lubis Medan,
Para jurnalis itu melakukan unjukrasa menuntut arogansi Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres) Walikota Medan Bobby Afif Nasution yang menghalangi tugas jurnalis saat melakukan peliputan.
Dalam orasinya salah satu wartawan Hany menyuarakan agar Paspampres yang mengkawal Walikota Medan tidak bertindak arogansi kepada wartawan hendak melakukan peliputan.
“Kenapa tugas wartawan dihalang halangi sebagai penyambung suara dan program pemerintah kepada masyarakat,” ujar wartawan.
Wartawan juga meminta Walikota Medan Bobby Nasution, m merombak prosedur SOP yang dilakukan Walikota Medan terhadap pengamanan di kantor Walikota Medan.
Dari amatan wartawan, berbagai spanduk tampak tulisan yang mengkritisi keberadaan Bobby Afif Nasution. Seperti, “Walikota Rasa Persiden”, Panglima Talam Bobby Jangan Halangi kerja wartawan, Medan gak berkah kalau banyak panglima talam, Tuan Walikota Jangan Warisi Paham Kolonial dan lainnya. (*)