Pelayananpublik.id- Saat ini media massa sangat masif jumlahnya. Berita pun dengan mudah ditemukan di berbagai media seperti media pemberitaan online.
Tingginya persaingan antar media membuat para wartawan dituntut untuk membuat berita yang menarik dan memancing minat baca pembacanya. Namun karena hal itu terkadang kaidah jurnalisme yang benar sering diabaikan, termasuk dalam pemberitaan soal anak.
Kenyataannya, masih banyak media yang mengungkap jati diri anak terutama anak yang berhadapan dengan kasus hukum.
“Pemberitaan tentang anak itu seperti kurang terarah dan tidak mengikuti kaidah baku serta melanggar privasi,
padahal itu ada di atur di kode etik
contoh misalnya tidak boleh ekspose korban kesusilaan,” kata Anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar Ta’san dalam Virtual Class LPDS dengan materi “Menciptakan Media Ramah Anak”, Rabu (11/3/2021).
Ia mengatakan berdasarkan kesepakatan komunitas pers, Dewan Pers telah mengeluarkan Peraturan Dewan Pers no 1/PERATURAN-DP/II/2019 tentang pedoman pemberitaan ramah anak.
“Sifatnya panduan bukan pembatasan. Komunitas pers nasional bersepakat membuat suatu pedoman penulisan ramah anak yang akan menjadi panduan dalam melakukan kegiatan jurnalistik,” kata dia.
Djauhar mengatakan pemberitaan ramah anak ini dimaksudkan untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati, dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak. ini berlaku kepada anak yang terlibat hukum maupun tidak, baik itu pelaku, saksi ataupun korban.
“Untuk anak 18 tahun kesepkatannya adalah identitasnya harus dilindungi antara lain nama foto gambar nama kakak adik orangtua paman bibi, kakek nenek serta alamat seperti nama desa sekolah perkumpulan klub serta benda khusus yang mencirikan
Untuk itu, wartawan diharapkan mengikuti 12 pedoman pemberitaan ramah anak dari Dewan Pers.
Adapun 12 poin pedoman menulis berita ramah anak adalah:
1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orangtuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian, mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
6. Wartawan tidak menggali informasi dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK.
7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dengan pelaku. Apabila sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkapkan.
9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak, tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya, segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapuskan.
10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait kegiatan politik dan yang mengandung SARA.
11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) dari media sosial.
12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Djauhari mengatakan jika masyarakat menemukan berita tentang anak yang merugikan dan tidak sesuai pedoman di atas, maka masyarakat bisa melaporkannya ke Dewan Pers. (Nur Fatimah)