Oleh : Sasro Mulya Romadhon, S.H.
Tindak pidana pencucian uang (TPPU) adalah tindak pidana yang berkaitan dengan harta atau aset yang dihasilkan dari korupsi. Perkara TPPU tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas perekonomian dan sistem keuangan negara, tetapi juga membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia secara keseluruhan. Dalam mengantisipasi dan optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya pencucian uang, maka negara menerbitkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU), dalam prakteknya penyidikan tindak pidana pencucian uang terkendala terkait dengan terbatasnya pihak yang dapat melakukan penyidikan terhadap tidak pidana tersebut.
Hal ini dikarenakan terdapat kontradiksi antara pasal dan penjelasan dalam ketentuan Pasal 74 UU PP TPPU, namun lebih dari itu, kontrakdiksi tersebut dapat membawa ketidaktertiban dalam penegakan hukum dimana dalam Pasal 74 UU PP TPPU berbunyi :
“Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini”
Sedangakan makna penyidik tindak pidana asal yang ditentukan dalam Penjelasan Pasal 74 UU PP TPPU adalah :
“Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia”
Dalam penjelasan pasal 74 UU PP TPPU tersebut, apabila dilihat dari ketentuan pasal 2 UU PP TPPU maka, makna penyidik tindak pidana asal menjadi lebih sempit karena apabila menelisik ketentuan dalam pasal 2 tersebut, yang dimaksud dengan tindak pidana TPPU adalah :
“Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika;bpenyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran;di bidang perbankan;di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Sehingga ketika penyidik menemukan perkara tindak pidana pencucian uang sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PP TPPU, maka seyogyanya sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU PP TPPU, dapat dikategorikan sebagai penyidik tindak pidana asal, namun apabila menelisik kepada ketentuan penjelasan dalam pasal 74 tersebut, terdapat pembatasan siapa yang dapat menjadi penyidik tindak pidana asal, hal tersebut menurut hemat kami tidak dapat dibenarkan, hal ini didasarkan pada ketentuan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Nomor 176 dan 186 huruf a dan b, yang pada pointnya yaitu : “rumusan penjelasan tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal yang diatur dalam batang tubuh; tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh; tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau tidak memuat rumusan pendelegasian”
Dengan kata lain, apabila penyidikan tindak pidana asal yang dilakukan di luar 6 (enam) institusi tersebut menemukan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang, maka penyidik asal tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana yang berkaitan dengan pencucian uangnya dan harus dilimpahkan kepada penyidik lain untuk dilakukan penyidikan (splitsing), dimana hal tersebut memungkinkan adanya of knowledge antara penyidik tindak pidana asal dan penyidik lanjutan yang dapat menyebabkan berlarutnya proses penyelidikan dan penyidikan, hal tersebut mengakibatkan adalnya tahapan yang berulang, dan hal ini tidak sejalan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasan Kehakiman.
Mengutip pendapat Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Eddy O.S Hiariej sebagai ahli dalam Sidang uji materi UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PP TPPU) di Mahkamah Konstitusi. Dalam keterangannya, Hiariej mengatakan, Pasal 74 dan penjelasan Pasal 74 UU TPPU saling bertentangan. Di satu sisi, penyidik tindak pidana asal tidak hanya Polri, melainkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lainnya sesuai dengan undang-undang sektoral masing-masing. “Seperti tindak pidana di bidang kehutanan yang mana penyidiknya adalah polisi hutan atau tindak pidana di bidang perikanan yang penyidiknya dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Angkatan Laut. Di sisi lain, penjelasan Pasal 74 membatasi penyidik tindak pidana asal hanya Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Pajhak dan Ditjen Bea dan Cukai. Maka, jelas Pasal 74 dengan penjelasannya saling bertentangan,” kata dia di Gedung MK, Jakarta, Senin (07/01/2019). Untuk itu, ia menjelaskan,Pasal 74 UU TPPU dan penjelasannya tidak hanya persoalan kepastian hukum dalam pengertian ada kontradiksi antara pasal dan penjelasan. Namun lebih dari itu, akan membawa ketidaktertiban dalam penegakan hukum.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 tanggal 29 Juni 2021 terhadap ketentuan Pasal 74 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), maka Frasa Penyidik Tindak Pidana Asal dalam Penjelasan Pasal 74 UU PP TPPU tidak lagi bersifat terbatas hanya pada 6 (enam) Institusi penyidik tindak pidana asal yakni Polri, Kejaksaan, KPK, BNN, Ditjen Pajhak dan Ditjen Bea dan Cukai, dikarenakan berdasarkan putusan mahkamah konstitusi, hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan untuk itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘penyidik tindak pidana asal’ adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan”.
Sehingga berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka frasa Penyidik Tindak Pidana Asal tidak lagi hanya terbatas pada 6 (enam) institusi (Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia), melainkan Penyidik lainnya sesuai dengan undang-undang sektoral masing-masing yang berkaitan dengan hasil tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 UU PP TPPU.
Namun disisi lain putusan mahkamah konstitusi terkait dengan uji materi pasal 74 UU PP TPPU, menurut kami masih menyisakan ruang dalam hal apabila tindak pidana pencucian uang baru ditemukan ditingkat penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), sehingga apabila mengacu pada ketentuan Pasal 74 dan Penjelasannya UU PP TPPU jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 tanggal 29 Juni 2021, maka penyidik tindak pidana asal yang dapat melakukan penyelidikan kembali untuk TPPU-nya (kecuali penyidikan awal dimulai di institusi kejaksaan), hal tersebut mengakibatkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasan Kehakiman belum dapat terpenuhi dikarenakan proses penyidikan yang masih memerlukan waktu relatif lebih panjang, sehingga menurut hemat kami perlu adanya perbaikan lebih lanjut terhadap ketentuan dalam Pasal 74 UU PP TPPU guna menjawab tantangan dan realita perkembangan tindak pidana pencucian uang yang makin bervariasi dan kompleks dimasa yang akan datang. (*)