Rahudman: JMSI Harus Bisa Diperhitungkan dan Mendapat Tempat di Pemerintahan dan Masyarakat

Pelayananpublik.id- Ketua Dewan Pembina Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Sumut, Rahudman Harahap mengatakan akan terus memberikan support dan membantu JMSI untuk berkembang.

Ia berharap agar di Sumut segera dibentuk pengurus cabang di setiap kabupaten/kota. Karena itu merupakan anggaran dasar dan ukuran keberhasilan pengda yang sekarang.

“Saya sebagai pembina selalu memberikan masukan kepada pemda agar seluruh pengurus cabang dalam tahun juga ini saya harapkan semua harus segera dibentuk,” katanya dalam acara Diskusi Media Siber dan Silaturahmi JMSI Sumut di Medan, Selasa (12/9/2023).

Dalam acara bertajuk “Menatap Masa Depan Media Siber Indonesia” itu, ia juga meminta pengda JMSI untuk tidak terpancing dengan kondisi yang tidak membuat pengda JMSI.

“Orang sudah melihat kita hebat di Sumut. Maka harus kita isi dengan tugas dan tanggungjawab kita,” katanya.

Sebagai pembina JMSI Sumut ia mengatakan akan terus memberikan yang terbaik.

Sementara itu, Ketua Umum JMSI Teguh Santosa mengatakan saat ini jumlah perusahaan pers online tidak terhitung jumlahnya. Itu dikarenakan mudahnya individu untuk membuat perusahaan pers sendiri.

Seiring dengan itu, semakin sulit untuk menciptakan komitmen pers yang sehat dan profesional seperti yang diharapkan saat penandatanganan piagam di Palembang pada 2010 silam.

Ia mengatakan fenomena pers dan perusahaan pers di Indonesia dan luar negeri sangat berbeda.

“Berbeda dengan negara lain, Indonesia merupakan negara yang perkembangan IT nya diikuti dengan pertumbuhan perusahaan pers yang pesat,” ujarnya.

Teguh menjelaskan, saat penandatanganan piagam Palembang tahun 2010 oleh yang perusahaan pers besar seperti Kompas dan lainnya, mereka tidak punya gambaran yang sama sekali bahwa beberapa tahun kemudian akan terjadi apa yang sekarang tersebut sebagai disrupsi teknologi dan semua orang tiba-tiba bisa menjadi pengusaha pers.

“Nah celakanya lagi di negara kita ini harus dibolehkan keinginan orang untuk membuat perusahaan menyuarakan pandangan karena kalau itu tidak dibolehkan nanti akan dianggap seperti send back kembali ke zaman orde Baru,” terangnya.

Selain itu dunia pers Indonesia saat ini bersanding dengan media sosial. Dimana arus informasi sangat deras dan rawan penyelewengan. Untuk itu organisasi pers perlu melindungi profesi jurnalis dan tradisi pers yang ada.

Teguh juga menyinggung tentang perbedaan Undang-undang Pers dan UU ITE dimana UU pers diperuntukkan untuk perusahaan pers bukan pencipta konten di platform online.

Ia mencontohkan Deddy Corbuzier yang dalam kontennya ia telah mengerjakan tugas pers mulai dari mencari, mengolah hingga mempublikasikan sebuah informasi.

“Namun, apakah itu karya pers? Di Indonesia, itu tidak disebut dengan karya pers, sehingga konsekuensi hukumnya nanti bukan dengan UU Pers tapi ITE,” jelasnya.

Ia berharap dengan banyaknya perusahaan pers yang muncul, diikuti dengan meningkatnya jumlah jurnalis yang kompeten dan profesional serta karya pers yang berkualitas.

“Kita tidak bisa dan tidak boleh membiarkan kebebasan itu dalam konteks yang super liberal. Kebebasan itu supaya informasi kita ini ya kalau bahasa kita sering informasi yang produktif konstruktif, tidak informasi yang kontraproduktif destruktif, merusak,” ujarnya lagi. (*)