MEDAN – “Gawat bang,” jerit seorang pegawai PLN yang bertugas di Sumatera Utara. Jeritan itu tidak hanya muncul dari satu pegawai saja, tapi banyak pegawai PLN yang mengeluarkan jeritan seperti itu.
Alasan jeritan itu tidak lain karena kebijakan holding dan sub holding yang dibuat oleh pemerintah terhadap PT PLN (Perusahaan Listrik Negara).
Selain dianggap tidak efektik terhadap dampak kepada masyarakat umum, holding dan sub holding PLN juga dianggap merugikan bagi para pegawai.
“Harusnya kebijakan TOP (take or pay) yang dievaluasi, bukan malah buat holding sub holding,” ujar seorang pegawai di Sumut, Sabtu (4/2/2023).
Salah satu dampak terhadap pegawai adalah mutasi ke unit lain dan tugas karya ke anak perusahaan.
Tata kelola terhadap mutasi dan tugas karya tersebut juga dinilai tidak matang karena adanya perubahan jabatan dan perubahan aktivitas kerja pegawai yang sangat berbeda dari tempat kerja semula.
Akibatnya, banyak dari pegawai yang belum bekerja secara efektif dan dinilai bisa berdampak pada layanan PLN terhadap masyarakat.
Para pegawai yang terdampak mutasi atau tugas karya sudah tidak berharap pada manajemen terkait nasib mereka, karena manajemen PLN dinilai hanya bisa menuruti keinginan dari pemerintah yang membuat kebijakan holding dan sub holding.
“Mereka yang belum dimutasi pasti akan terdampak juga karena pasti ada restrukturisasi organisasi. Jadi PLN ni masalahnya di mana, SDM kah atau TOP ?,” ucap dia.
Mulanya, sebagian besar pegawai PLN berharap kepada Serikat Pekerja (SP) PLN agar mengelar aksi secara konkret untuk menyuarakan terkait holding dan sub holding.
Namun, harapan tersebut pupus. Dewan Pimpinan Pusat SP PLN hanya membuat langkah surat menyurat kepada manajemen PLN. Hal itu dianggap pegawai tidak akan mengubah pandangan dari pemangku kebijakan terkait holding dan restrukturisasi pegawai PLN.
“Iya, hanya surat menyurat bang, SP minta holding sub holding ditangguhkan. Beda dengan SP yang dulu mau turun ke jalan untuk aksi menyuarakan soal kelistrikkan. Yang kami suarakan itu untuk kepentingan masyarakat agar PLN terlepas dari oknum-oknum mafia listrik,” ungkapnya.
Hal tersebut berbeda dengan sikap Serikat Pekerja PT Pembangkit Jawa Bali (SP PJB), mereka menggelar aksi dan membentangkan spanduk yang menyatakan penolakan terhadap holding sub holding.
“SP PJB menyatakan tolak bagi-bagi jabatan dan arogansi penguatan kantor pusat Jakarta berkedok HSH,” tulisan dalam spanduk.
Selain SP PJB yang berani menyuarakan pendapatnya secara nyata, ada juga organisasi lain yang menyuarakan pendapatnya yakni Serikat Pekerja Elektronik Elektrik-Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE FSPMI).
Mereka menggelar unjuk rasa pada Kamis (2/2/2023) di depan kantor Pusat PLN, Jakarta. Dalam tuntutannya mereka menyuarakan hak-hak tenaga alih daya (outsoucrhing).
“Bahkan mereka yang dari luar PLN mau menyuarakan hak tenaga alih daya. Itu baru organisasi. Kalau SP PLN hanya surat menyurat saja, gak ada langkah kongkretnya. Kita pasrah saja kondisi PLN sekarang,” pungkas si pegawai.