Pelayananpublik.id- Jurnalis rentan mengalami kekerasan. Padahal jurnalis memiliki peranan penting dalam kontrol sosial.
Dari itu harus ada mitigasi yang serius dan didukung oleh banyak pihak.
Pengacara Publik LBH Medan, Maswan Tambak mengatakan dalam mengupayakan mitigasi tersebut, pembukuan yang lengkap terkait alur dan rentetan putusan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis harus terdokumentasi dengan rapih.

Proses hukum kekerasan terhadap jurnalis yang terdokumentasi dengan baik diharapkan dapat menjadi acuan kedepannya.
“Kawan Pers sangat potensial di kriminalisasi misalnya. Maka pentingnya adanya mitigasi. Dokumentasi atas kasus kekerasan terhadap wartawan itu penting. Misalnya kasus si Arai ini, bisa di bukukan la saya bilang nya,” katanya dalam Diskusi dan Nonton Bareng Hari Kebebasan Pers Indonesia (World Press Freedom Day) dilaksanakan pada Sabtu, 14 April 2022.
Dalam diskusi dengan tema “Mitigasi Kekerasan Terhadap Jurnalis” itu, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Christison Sondang Pane (Tison) mengharapkan agar kepolisian senantiasa turut serta dalam kebijakan pers.
“Kepolisian juga harus turut serta dalam kebijakan pers itu sendiri.” ujarnya.
Kompol Hermawan yang turut hadir dalam diskusi tersebut juga menjelaskan bahwa seluruh warga Indonesia harus dilindungi oleh undang-undang. Termasuk tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan jurnalis maupun terhadap jurnalis, yang putusan hukumannya ditentukan oleh hakim.
“Seluruh warga Indonesia, harus dilindungi oleh undang-undang. Setiap warga negara sama hak nya di mata hukum. Terkait putusan hukum terhadap pelanggaran hukum terhadap jurnalis ditentukan oleh hakim,” jelas Hermawan
Sementara itu anggota AJI Medan, Array A Argus mengatakan jurnalis juga harus memahami kode etik jurnalistik demi menghindari kekerasan terhadap jurnalis.
Kode etik jurnalistik berfungsi sebagai acuan bagi jurnalis untuk melakukan kerja jurnalistik, salah satunya adalah dalam melakukan liputan.
“Bagaimana cara meliput di lokasi konflik misalnya, penting bagi jurnalis untuk paham mengenai kode etik itu sendiri.” tutur Array
Pelanggaran ataupun tindak kekerasan yang terjadi pada jurnalis akan ditelaah terlebihdahulu oleh AJI.
Termasuk diantaranya bagaimana pelanggaran itu terjadi, status badan hukum dan verifikasi Dewan Pers terhadap media tempat jurnalis terkait bekerja dan validasi jurnalis itu sendiri.
“Jika terjadi pelanggaran atau kekerasan terhadap jurnalis, AJI lebih dulu melihat pokok persoalan. Misalnya apakah ia melanggar ketika melakukannya liputan atau bagaimana. Kapan dia UKW, media nya apakah sudah terverifikasi dewan pers, harus dilihat dulu apakah itu produk jurnalis atau tidak. Namun, apapun cerita tindak pidana harus dilanjutkan.” tegas Array
Maswan Tambak juga menegaskan bahwa dalam hal pelanggaran oleh atau terhadap jurnalis, yang bisa ditindak adalah jurnalis yang sudah terverifikasi.
“Kalau misalnya ketika ada jurnalis yang melanggar kode etik, secara kelembagaan oknum harus dibina dan secara advokat di proses hukum. Namun dalam hal ini adalah jurnalis yang betulan jurnalis, sebab ada orang yang mengakui sebagai jurnalis dan itu dikesampingkan,” terang Maswan. (*)