FJPI: Jangan Sampai Persoalan Perempuan Tak Jadi Isu Mainstream Bagi Jurnalis

Pelayananpublik.id- Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) mengingatkan wartawan peka terhadap isu perempuan di Indonesia.

Pasalnya, isu mengenai permasalah perempuan masih terus mengemuka di tengah pandemi, seperti KDRT, aborsi dan sebagainya.

“Satu yang muncul di masa pandemi ini baik dari laporan UN Women, yakni meningkatnya kasus KDRT, banyaknya tempat yang berbahaya baik bagi perempuan dan anak. Di awal pandemi kita juga membuat liputan meningkatnya angka aborsi yang tidak diinginkan tentu banyak sekali isu-isu tentang perempuan,” kata Uni ketika membuka Webinar Workshop dengan tema “Jurnalisme Responsif Gender”, melalui platform zoom, Sabtu (28/8/21).

bank sumut selamat hari raya idul fitri

Bahkan kata Uni, saat ini isu-isu perempuan dan anak sudah semakin meningkat, sehingga jangan sampai isu tersebut tidak menjadi isu mainstream bagi jurnalis, Sebab, pandemi ini bukan hanya soal krisis kesehatan, ekonomi, tapi krisis sosial.

“Voice of the voiceless itu harus terus diingatkan kepada kita dalam menjalankan tugas sebagai jurnalis. Itulah sebabnya kenapa FJPI sebagai jurnalis sebulan dua kali akan membuat kegiatan yang sifatnya seperti webinar ini, tujuannya agar kita kembali terus memastikan pengarusutamaan mainstreaming untuk semua liputan kita dan terus membangun kesadaran,” ujar Uni.

Sementara itu, narasumber webinar tersebut yakni Maria Hartiningsih, jurnalis senior Harian Kompas (1984-2015), menyinggung bahwa gender adalah persoalan kesetaraan dan dominasi antara yang kuat dengan yang lemah.

Penulis dan juga penerima Yap Thiam Hien Award itu mengatakan gender berbeda dengan jenis kelamin biologis yang ciri-cirinya sudah melekat sejak lahir. Gender merupakan jenis kelamin sosial.

“Gender itu sifatnya tidak menetap,” kata Maria.

Sebagai contoh, lanjut dia, lahirnya asumsi bahwa laki-laki itu lebih kuat, gagah, disiplin dan lebih pintar sehingga bekerja di ruang publik, sementara asumsi perempuan lemah lembut, keibuan, halus dan tempatnya bekerja di dalam rumah, sumur dapur dan kasur.

Asumsi ini pun melebar bahwa ranah publik dan politik seperi eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan miliknya laki-laki.

“Padahal tak ada kaitannya antara jenis kelamin dengan kemampuan memimpin dan bernegosiasi,” terang Maria.

Media massa sendiri, kata Maria, menggambarkan perempuan dengan P-5 yakni citra peraduan, citra pigura, pilar rumah tangga, citra pergaulan dan citra pinggan.

Contohnya, dapat dilihat dari berbagai iklan di media massa. Seperti iklan ban yang selalu menggunakan perempuan seksi, padahal tidak ada hubungannya, begitu juga dengan iklan sabun cuci, selalu menggunakan model perempuan, hal ini perlu dipertanyakan apakah pekerjaan domestik itu adalah milik perempuan, bukankah laki-laki juga terbiasa untuk mencuci baju.

“Oleh karena itu, perspektif kesetaraan dan keadilan atas dasar relasi kuasa sangat penting digunakan dalam kerja jurnalistik,” tegas Maria.

Apalagi, kata dia, isu perempuan dan anak saat ini merupakan isu multidimensi yang tersebar dalam berbagai isu dan komprehensif, sehingga membutuhkan pemahaman mengenai duduk soal adalah keharusan, sehingga tidak keliru untuk memilih angle berita, perspektif serta pemilihan narasumber.

Dalam kesempatan tersebut, Maria juga memaparkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menulis berita terkait isu perempuan, seperti menulis berita perkosaan dan kekerasan seksual, hingga bagaimana sebaiknya menulis berita kelompok-kelompok yang terpinggirkan karena pilihan-pilihan seksualnya, biologis maupun psikologisnya.(*)