Pelayananpublik.id– Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah masuk kembali dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2021. Dari itu, ini adalah saat yang tepat untuk kembali mengampanyekan awareness terhadap kekerasan seksual dan betapa pentingnya UU PKS untuk Indonesia.
Bagaimana tidak, kekerasan seksual terus terjadi dimana-mana. Apalagi di masa pandemi Covid-19 di mana banyak orang harus tinggal di rumah.
Berdasarkan data catatan tahunan Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual tahun 2018 sebanyak 5.280, tahun 2019 sebanyak 4.898, kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) Januari-Oktober 2020 sebanyak 659 kasus. Sementara berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian PPPA tahun 2020 mencatat kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 6.177 kasus.
Jumlah kasus kekerasan seksual ini pun diyakini lebih dari itu karena kebanyakan korban tidak melapor.
Psikolog Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi mengatakan banyak korban yang tidak melapor karena merasa tidak yakin laporan mereka akan diproses dengan benar.
Selain itu korban juga dikuasai perasaan malu, syok dan trauma, merasa bingung, khawatir terhadap respon lingkungan, takut terhadap pelaku dan konsekuensinya, melindungi pelaku hingga keamanan dan akses ke lembaga hukum terbatas.
“Jadi jika korban tidak melapor bukan berarti kekerasan seksual tidak terjadi,” katanya dalam Jurnalis Workshop : ‘Indonesia Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya Pengesahan RUU PKS untuk Melindungi Warga Negara Indonesia Dari Kekerasan Seksual’, Sabtu (20/3/2021).
Dampak kekerasan seksual juga bisa terjadi lebih jauh seperti gangguan psikologis, stress, putus asa hingga keinginan bunuh diri.
Dengan rumitnya situasi korban, tentu diperlukan perlindungan khusus demi memberantas kejahatan kekerasan seksual ini. Sebab korban diam bukan berarti kejahatan itu hilang.
Nah, payung hukum yang dimaksud adalah RUU PKS yang hingga saat ini belum juga disahkan. Dalam RUU PKS ada pasal yang mengatur pembelaan dan perlindungan terhadap korban termasuk pemulihan korban.
Tembok Bernama Stigma
Penyelesaian dan pemberantasan kekerasan seksual seringkali mengalami kebuntuan, seperti dihadang tembok tinggi menjulang.
Tembok itu bernama stigma. Stigma masyarakat yang masih belum melek bahwa kekerasan seksual itu adalah kejahatan, bukan kebetulan dan sesuatu yang bisa dimaklumi sedikitpun.
Akar penyebab terjadinya kekerasan seksual adalah ketidak adilan gender, penyalahgunaan relasi kuasa, perspektif HAM dan gender yang minim dan budaya patriarki yang kuat.
Jadi korban di Indonesia belum tentu mendapat simpati dan pembelaan, bisa jadi justru mendapat perlakuan negatif, sehingga mereka memilih diam.
Ika mengatakan kekerasan seksual adalah tetap kejahatan walau apapun kondisi korban pada saat itu seperti misalnya pakaiannya ataupun posisinya.
“Meskipun korban yang datang ke kamar pelaku, bukan berarti kekerasan seksual dibenarkan. Jangan maklum, tidak ada kekerasan seksual yang bisa dimaklumi,” katanya.
Selama ada consent atau persetujuan, maka itu tidak disebut kekerasan seksual. Consent/persetujuan itu pun harus terjadi dimana korban bebas memutuskan dan memilih terlibat dalam kegiatan seksual.
“Jika tertekan secara fisik, psikis atau mengikuti karena tidak ada pilihan lain dan tidak bisa lepas dari situasi tersebut maka sebenarnya itu tidak memberikan consent atau persetujuan,” katanya.
Kemudian untuk korban anak di bawah 18 tahun, dengan atau tanpa consent, semua kegiatan seksual dianggap kekerasan seksual apalagi pelakunya adalah orang dewasa.
Stigma lainnya adalah anggapan dimana RUU PKS menabrak aturan agama seperti menghalalkan perzinahan. Padahal kekerasan seksual itu berbeda dengan perzinahan.
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainah menjelaskan perbedaan zinah dan perkosaan dalam Fikih Islam.
Zinah terjadi karena pelaku suka sama suka, relasi setara dalam artian secara sadar, aqil, baligh, ghairu majnun atau tidak gila. Selain itu perbuatan itu baru bisa dianggap zina jika ada 4 orang saksi yang menyaksikan langsung.
“Sementara perkosaan adalah hirabah atau muharib, tidak ada antaradin, serta kesaksian korban adalah yang utama,” jelasnya.
Ia mengatakan dalam sejarah Islam Nabi SAW menyelesaikan kasus perkosaan dengan mengutamakan kesaksian korban dan tidak dibutuhkan saksi lainnya untuk melihat.
Dengan demikian, kata dia, aturan Islam tentang kekerasan seksual sejalan dengan RUU PKS sehingga seharusnya tidak ada alasan untuk menolaknya.
Yulianti berharap jurnalis melalui pemberitaan bisa meruntuhkan tembok stigma di tengah masyarakat tentang kekerasan seksual dan RUU PKS yang sedang diperjuangkan banyak orang tersebut.
Ia juga berharap para jurnalis berpihak kepada korban dan menuliskan berita yang memberi empati kepada korban, bukan kepada pelaku.
“Jika menulis berita perkosaan, berpihaklah kepada korban. Kesaksian pelaku tidak penting. Itu yang kita harapkan dari teman-teman jurnalis,” katanya.
Adapun Jurnalis Workshop : ‘Indonesia Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya Pengesahan RUU PKS untuk Melindungi Warga Negara Indonesia Dari Kekerasan Seksual’ itu diselenggarakan The Bodyshop® Indonesia bekerja sama dengan FJPI dan IDN Times.
The Bodyshop® Indonesia sendiri diketahui merupakan perusahaan yang konsen dalam memperjuangkan pengesahan RUU PKS. Mereka tidak hanya fokus dalam menjual produk kecantikan namun juga aware dengan isu humanisme dan lingkungan.
CEO The Body Shop® Indonesia, Aryo Widiwardhono mengatakan pihaknya melakukan banyak hal dalam rangka mendukung pengesahan RUU PKS. Mereka bahkan sudah melakukan audiensi bersama Anggota DPR ke Gedung Senayan seperti bersama Banleg dan Kaukus Perempuan DPR.
“Bagi kami, isu kekerasan seksual itu penting untuk didorong dan kami melakukan kampanye ‘Stop Sexual Violence’ karena Indonesia sudah darurat kekerasan seksual. Kami akan mengawal terus dengan semangat dan tekad perjuangan hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan,” kata Aryo saat membuka Jurnalis Workshop tersebut. (Nur Fatimah)