Agar Tak Ada yang Ditangkap Usai Kritik Pemerintah, UU ITE Harus Diubah

Pelayananpublik.id- Kontroversi mengenai kebebasan bersuara dan mengkritik pemerintah terus bergulir. Pasalnya, Presiden RI baru-baru ini mengatakan siap dikritik kinerjanya, sementara seperti yang diketahui, tak sedikit orang dipenjara karena melempar kritik terhadap pemerintahan.

Terkait itu, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo mengatakan akar permasalahan dari kasus penangkapan tersebut berasal dari aturan yang berlaku.

“Masalah penangkapan ini kan bukan sekarang saja, zaman Pak JK jadi Wapres (SBY) juga sudah ada penangkapan dan sudah ada dasarnya yakni undang-undang. Jadi ini jadi bukan masalah pemerintahan Pak Jokowinya, tapi masalah undang-undang. Kalau kita menghendaki tidak ada penangkapan, undang-undangnya harus diubah lagi,” terang Firman dikutip dari Merdeka.com, Senin (15/2/2021).

bank sumut selamat hari raya idul fitri

Ia menjelaskan UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pertama kali diundangkan pada tanggal 21 April 2008. Satu tahun setelah UU itu disahkan, seorang ibu dari Tangerang, Prita Mulyasari dilaporkan oleh RS Omni Internasional Alam Sutera karena mengirim email yang berisi keluhan layanan rumah sakit. Seperti yang diketahui, Prita menjadi orang pertama yang dijerat UU ITE ini.

Oleh sebab itu, kata Firman, masyarakat harus betul-betul memperhatikan pasal-pasal yang tertuang dalam UU ITE karena pada prinsipnya, aparat kepolisian tidak akan menindaklanjuti suatu kasus jika tidak ada dasar hukum yang jelas.

“Polisi hanya melaksanakan tugas dari undang-undang. Polisi tidak bisa menangkap kalau tidak ada yang melapor. Kalau tidak ada yang merasa dirugikan, ya polisi tidak akan mencari-cari perkara ke masyarakat,” ungkap anggota Komisi IV DPR RI itu.

27 Oktober 2016, DPR mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Pasal yang diubah adalah tiga pasal karet tentang penghinaan/pencemaran nama baik, pornografi, dan penyadapan, yakni Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3).

Ia mengakui masyarakat menilai masih ada pasal-pasal karet dalam UU ITE, karenanya dia pun meminta masyarakat untuk menyampaikan keluhannya kepada DPR. Dengan begitu, DPR bisa membahas kembali dan merevisi UU ITE.

“UU ITE itu kan memang memberikan rambu-rambu ke masyarakat, nah kalau memang dianggap pasal karet, berarti yang harus diperbaiki undang-undangnya karena di situ ada celah hukum. DPR terbuka untuk publik kok,” ujarnya.

Jika melihat data-data yang dimiliki oleh SAFEnet yang dikeluarkan pada Juli 2020 lalu, jumlah kasus UU ITE sejak tahun 2008 hingga 2019 mencapai 285 kasus. Kasus terbanyak yakni terkait provokasi dan ujaran kebencian.

Firman pun meminta masyarakat untuk tidak takut mengkritik kebijakan pemerintah selama kritikan tersebut tidak mengandung ujaran kebencian. Menurutnya, kritik dari masyarakat sangat diperlukan oleh pemerintah. Apalagi kritik dari seorang tokoh yang pernah menjabat menjadi wakil presiden di negara ini. (*)