Pembangunan Danau Toba (Partisipasi Rakyat dan Pariwisata Inklusif)

Jokowi kembali lagi ke danau toba. Kali ini ia menegaskan kembali komitmen untuk mengembangkan patiwisata dikawasan yang menjadi bagian dari kebanggaan masyarakat Sumatera Utara ini. Jokowi menggunakan diksi yang agresif untuk menunjukan niatnya tersebut; mengebut pembangunan pariwisata danau toba yang berkelas.

Sesungguhnya ada beberapa catatan menarik dari kunjungan Presiden kali ini; Pertama, Jokowi memberi catatan terkait dengan perbaikan kualitas produk dan brand lokal. Barangkali ini ditujukan untuk berbagai hasil buah karya lokal yang harus mampu mendampingi usaha peningkatan pembangunan pariwisata.

Kedua, Jokowi memberi sinyal akan mengucurkan 3,5 triliun anggaran bersumber dari APBN dan dikombinasikan dengan usaha untuk memaksimalkan investor swasta.

Dampak kedua poin besar ini penting sekali untuk dikawal sebagai upaya untuk menjaga kepentingan masyarakat Sumatera Utara sebagai pemangku kepentingan terbesar dari niat baik ini. Karena faktanya sengkarut pembangunan dimulai dari abainya pemerintah terhadap hak-hak dasar masyarakat sekitar. Bukan barang baru jika pada akhirnya masyarakat hanya sekedar menjadi penonton dari proses pembangunan yang ambisius dari negara.

Tulisan ini sesungguhnya ingin mengingatkan kepada kita bahwa problem pembangunan pariwisata sesungguhnya bukan hanya soal pembangunan fisik terhadap objek-objek destinasi wisata. Persoalan ini sesungguhnya bukan sekedar terkait seberapa besar tenaga kerja lokal yang dapat terlibat dalam proses ini. Jauh dari itu, semangat pembangunan ini harus mampu melibatkan masyarakat sebagai subjek strategis yang diharapkan mampu berkolaborasi dengan semua arah kebijakan pembangunan yang akan dilakukan.

Misalnya saja, telah terjadi benih konflik terkait penguasaan lahan masyarakat adat desa Huta Ginjang, kecamatan Muara, Tapanuli Utara. Masyarakat menganggap bahwa lahan yang terdampak kawasan pembangunan adalah lahan adat yang telah mereka miliki secara turun temurun sepanjang 15 generasi (sumber;mogabay.co.id). Hal yang sama tentu sangat berpotensi terjadi pada kawasan lainnya.

Baca juga “Kumpulan Opini dari berbagai narasumber di sini”

Contoh lainnya, diberbagai kawasan pariwisata, akses publik untuk menikmati destinasi mesti ditebus dengan biaya yang sangat mahal. Setiap kawasan dikapling sedemikian rupa sehingga tidak dapat diakses oleh publik. Kawasan-kawasan itu menjadi sangat eksklusif dan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat biasa, karena mahal.

Selanjutnya terkait dengan kelembagaan masyarakat. Aspek ini merupakan faktor yang paling strategis bagi saya. Pemerintah sudah selayaknya bertanggungjawab untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek yang dilibatkan secara langsung dalam pembangunan ini. Penguatan kelembagaan masyarakat menjadi sebuah pintu masuk atas terciptanya kesejahteraan masyarakat kawasan danau toba.

Kelembagaan masyarakat ini tidak dapat dilihat secara parsial. Ia merupakan instrumen yang beragam berdasarkan kapasitas, spesifikasi kegiatan budaya dan ekonomi, serta semua hal yang diharapkan mampu mendukung kegiatan pembangunan secara imaterial. Kelembagaan masyarakat inilah yang selanjutnya akan membantu peningkatan mentalitas, keahlian, penciptaan nilai-nilai baru masyarakat dalam memberikan kontribusi atas kegiatan pariwisata. Jika hal ini tercipta, maka catatan Jokowi soal kualitas produk dan brand tadi secara otomatis akan bisa terjawab.

Aspek ini sesungguhnya yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan pembangunan danau toba secara kualitatif. Bukan sekedar angka-angka kuantitatif yang disandarkan pada jumlah kunjungan, sementara faktanya masyarakat asli disekitar danau toba malah tetap terpuruk secara ekonomi dan terpingggirkan.

Oleh: Gusmiyadi_Goben
(Aktivis Indonesia Bergerak)