pelayananpublik.id — Jumlah ruang kelas yang rusak total atau rusak parah di jenjang SD, SMP dan SMP sederajat tercatat 151.509 ruang kelas. Adapun yang rusak sedang sebanyak 118.899 ruang kelas.
Mengacu pada Ikhtisar Data Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017/2018 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, total ada 545.545 ruang kelas di semua jenjang pendidikan, tetapi yang kondisinya baik tidak sampai 50 persen. Di jenjang SD, bahkan hanya sekitar 26 persen yang kondisinya baik dan di jenjang SMP hanya sekitar 29 persen ruang kelas yang kondisinya baik.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, persoalan sekolah rusak sudah disampaikan pada Komisi X DPR. ”Kami khawatir sekolah rusak itu membahayakan keselamatan siswa,” kata Salim.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan Febri Hendri di Jakarta, Senin (21/5/2018), mengatakan, banyaknya sekolah rusak juga tidak terlepas dari besarnya potensi korupsi di daerah sejak perencanaan, penganggaran, lelang, dan pembangunan ruang kelas. ”Butuh komitmen semua pihak untuk memperbaiki banyaknya sekolah yang rusak,” kata Hendri.
Anggaran rendah
Dari kajian Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)-Action Aid terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2016 di 10 kabupaten/kota, didapati rata-rata hanya 0,99 alokasi anggaran untuk pembangunan dan rehabilitasi ruang kelas.
Pada saat yang sama, alokasi APBN untuk pembangunan ruang kelas baru dan rehabilitasi ruang kelas pun terus turun dalam tiga tahun terakhir. Di APBN 2014 alokasi sebesar 0,41 persen, menjadi 0,37 persen dalam APBN 2015, dan 0,21 persen dalam APBN 2016.
Tidak heran, jika pengurangan jumlah ruang kelas yang rusak bergerak lamban. Berdasarkan data Kemdikbud, pada tahun 2017, persentase jumlah ruang kelas SD yang rusak sedang dan berat masih 17,41 persen, hanya turun 1,18 persen dari tahun 2016.
Mengacu pada rasio siswa/kelas yang dirilis Kemdikbud, diperkirakan terdapat 6,6 juta anak (4,9 juta siswa SD dan 1,7 juta siswa SMP) yang terganggu proses belajarnya dan berpotensi menjadi korban jika ruang kelas mereka roboh. Sepanjang tahun 2014-2016, pemantauan yang dilakukan YAPPIKA menunjukkan, setidaknya terdapat 105 anak korban luka (61 siswa SD dan 44 siswa SMP) dan 4 anak meninggal (1 siswa SD dan 3 siswa SMP) akibat sekolah roboh.
Direktur Eksekutif YAPPIKA-ActionAid Fransisca Fitri di Jakarta mengatakan, butuh waktu sekitar 20 tahun untuk membenahi masalah ruang kelas yang
rusak jika tidak ada komitmen serius. ”Prioritas untuk memperbaiki ruang kelas yang rusak total dan berat saja belum ada keberpihakan. Ditambah lagi, nanti ruang kelas yang rusak sedang dan ringan bisa semakin tambah rusak,” kata Fransisca.
Fransisca mengatakan, rendahnya anggaran untuk perbaikan sekolah rusak diperparah oleh tata kelola rehabilitasi ruang kelas yang tidak tepat sasaran. Padahal, jika pemerintah membuat pengelolaan infrastruktur sekolah yang lebih akuntabel, transparan, dan melibatkan publik dalam sebuah gerakan nasional, persoalan ruang kelas rusak akan selesai lebih cepat dan siswa bisa belajar dengan nyaman dan aman.
Direktur Eksekutif Yayasan Nusantara Sejati Eka Simanjuntak mengatakan, penyerahan kewenangan pengelolaan pendidikan pada pemerintah daerah belum berjalan baik. ”Kapasitas sumber daya manusia di daerah umumnya belum memadai. Apa yang digariskan dari Jakarta, belum tentu dipahami sama di daerah,” kata Eka.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Thamrin Kasman mengakui dalam pendidikan masih banyak persoalan yang belum bisa diselesaikan. Keterbatasan anggaran menjadi salah satu kendala, selain kapasitas sumber daya manusia di bidang pendidikan.
(sumber:kompas.com)