Pelayananpublik.id- Sebuah kasus hukum yang menarik perhatian publik terjadi di Deli Serdang, di mana Indriani, kini harus duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Ironisnya, ia dituduh melakukan penggelapan atas sengketa bagi hasil dari usaha kilang padi yang ia kelola sendiri.
Kasus ini memicu reaksi keras. Hari ini, Kamis, 20/11/2025, Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Sumut mengadakan aksi di depan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, menuding keras adanya kriminalisasi hukum yang dipaksakan.
Drama hukum ini bermula dari perjanjian kerja sama usaha kilang padi yang diteken pada 23 April 2024. Indriani bertindak sebagai pemilik/pengelola kilang, sementara Narsen Lawisan dari PT AMARIS SUKSES MAKMUR menjadi pemodal.
Menurut Koordinator Lapangan AMUK Sumut, Daniel Harahap, masalah muncul setelah Indriani yang merupakan lulusan kedokteran mempertanyakan hak bagi hasilnya pada 1 Juni 2024, yang justeru ditolak oleh Narsen.
“Percekcokan terjadi ketika Narsen berniat mengambil seluruh gabah, beras, dan pembukuan. Indriani kemudian menahan stok beras di kilangnya. Ini adalah tindakan perlindungan hak perdata karena ia belum menerima pembagian laba yang dijanjikan,” jelas Daniel.
Namun, alih-alih menyelesaikan sengketa perdata, Narsen Lawisan membawa kasus ini ke ranah pidana. Indriani dilaporkan ke Polresta Deli Serdang atas tuduhan penggelapan dalam jabatan (Pasal 374 KUHP) dan penggelapan biasa (Pasal 372 KUHP). Narsen mengklaim kerugian fantastis, mencapai Rp 478 Juta.
Daniel Harahap dengan tegas membantah dasar laporan pidana tersebut. Ia menekankan bahwa hubungan Indriani dan Narsen adalah hubungan perdata sebagai mitra bisnis (Pasal 1313 KUHPerdata), bukan hubungan kerja atau atasan-bawahan.
“Indriani bukan karyawan atau bawahan Narsen tetapi Mitra Usaha, karena Indriani adalah mitra, unsur ‘karena jabatan’ dalam Pasal 374 KUHP secara hukum tidak terpenuhi.” Jelasnya.
Lebih lanjut, Daniel menjelaskan bahwa beras yang ditahan adalah objek pembagian bersama (hasil usaha bersama). Menahan barang dalam kondisi belum ada pembagian merupakan sengketa perdata, bukan tindak pidana penggelapan.
“Indriani menahan beras semata-mata untuk melindungi hak perdata atas bagi hasil yang belum diberikan, bukan karena niat untuk memiliki secara melawan hukum,” imbuhnya.
Koordinator Aksi AMUK Sumut, Yazed Hasibuan, menyoroti kejanggalan dalam proses hukum.
Yazed merujuk pada Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 998 K/Pid/1986 dan No. 934 K/Pid/1994 yang secara jelas menyatakan bahwa: Perselisihan dalam kerja sama dagang atau bagi hasil yang menimbulkan kerugian adalah Perdata, bukan pidana penggelapan.
Yazed menduga keras adanya penyalahgunaan kewenangan dan proses hukum yang dipaksakan. Mereka menyayangkan dugaan ketidakprofesionalan penyidik kepolisian yang dinilai terlalu cepat menetapkan tersangka, hanya berdasarkan klaim pelapor yang menyebut Indriani sebagai pekerja.
“Kami menduga penetapan tersangka yang dilakukan oleh pihak kepolisian Polresta Deli Serdang terlalu terburu-buru dikarenakan dalam hal ini antara Indriani dan Narsen telah mengikat sebuah perjanjian yang dibuat di kantor notaris,” pungkasnya.
AMUK Sumut menegaskan bahwa hukum harus digunakan sebagai instrumen keadilan, bukan sebagai alat untuk menekan atau mengkriminalisasi pihak-pihak tertentu, khususnya dalam sengketa bisnis perdata. Indriani sendiri telah merasakan getirnya ditahan dua kali dan kini nasibnya dipertaruhkan di PN Lubuk Pakam.