Pelayananpublik id– Fenomena pejabat publik yang masih aktif menjabat kemudian mendaftar atau mengikuti seleksi jabatan publik lain semakin kerap terjadi.
Secara hukum, praktik ini jarang menjadi persoalan; tidak ada aturan eksplisit yang mewajibkan mundur sebelum melamar jabatan lain. Namun, hukum formal hanyalah batas minimal.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan etika publik menuntut lebih dari sekadar kepatuhan hukum: ia menuntut integritas, profesionalisme, dan kesadaran penuh terhadap dampak sosial dari setiap tindakan.
“Masalah paling mendasar adalah konflik kepentingan, meski sering terselubung. Pejabat aktif memiliki akses ke jaringan strategis, informasi institusional, dan pengaruh yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi,” ungkapnya, Selasa (18/11/2025).
Akibat hal itu, kata dia, persepsi publik pun ikut terkikis. Seleksi yang mestinya netral dan berbasis kompetensi tampak ternodai oleh “privilege” jabatan aktif.
“Legalitas formal tidak menutup kemungkinan proses terlihat timpang, dan masyarakat bertanya: apakah jabatan publik masih dijalankan untuk kepentingan rakyat atau sekadar batu loncatan ambisi pribadi?,” ujar anggota Komisi Yudisial periode 2015-2020 tersebut.
Selain itu, kata dia, profesionalisme juga dipertaruhkan. Jabatan publik bukan sekadar simbol prestise; ia adalah amanah. Mengambil risiko ikut seleksi jabatan lain tanpa mundur atau cuti berarti membagi perhatian, atau lebih buruk, menempatkan ambisi pribadi di atas pelayanan publik.
“Publik berhak bertanya: apakah pejabat tersebut masih menjalankan tugas dengan penuh dedikasi? Integritas birokrasi modern diukur dari konsistensi moral dan komitmen terhadap tanggung jawab, bukan sekadar kepatuhan terhadap hukum formal,” jelasnya.
Dari perspektif etika birokrasi, lanjut Farid, praktik ini termasuk niretik, memang tidak ilegal, tetapi menimbulkan pertanyaan moral serius. Public office bukan arena “karier berantai” yang mengutamakan posisi berikutnya tanpa memperhatikan amanah saat ini.
Selain itu, mundur atau cuti sementara selama proses seleksi bukan formalitas; itu kewajiban moral untuk menegaskan prioritas publik di atas ambisi pribadi. Jika diabaikan, pejabat mengirim sinyal ambisi pribadi lebih penting daripada integritas dan kepercayaan publik.
Ia mengatakan disinilah peran panitia seleksi menjadi penentu kredibilitas. Tidak cukup hanya menilai legalitas administratif, panitia harus menilai integritas peserta.
“Pejabat aktif yang ikut seleksi tanpa mundur atau cuti jelas menunjukkan perilaku pemburu jabatan, ambisius, dan tidak amanah dalam jabatannya sendiri. Panitia seleksi yang berani menolak peserta semacam ini bukan hanya menjaga prosedur, tapi menegaskan etika dan legitimasi proses,” katanya.
Menurut Farid, seleksi hanya akan bermakna jika peserta fokus pada kompetensi dan integritas, bukan memanfaatkan jabatan yang sedang diemban untuk keuntungan pribadi.
Fenomena ini menyingkap satu kenyataan keras: legalitas tidak sama dengan legitimasi moral. Pejabat yang hanya mengandalkan kepatuhan formal tanpa mempertimbangkan etika dan persepsi publik berisiko menodai reputasi diri sendiri dan institusi. Kepercayaan publik sebagai modal utama birokrasi, potensial mudah runtuh ketika ambisi pribadi tampak mengalahkan amanah publik.
” Jadi, etika publik menuntut satu hal jelas: kepentingan publik harus selalu di atas ambisi pribadi. Jabatan berikutnya bukan alasan untuk mengorbankan tanggung jawab saat ini. Mundur atau cuti sementara bukan opsi; itu kewajiban moral,” ujar Farid.
Dalam tata kelola publik, lanjutnya, reputasi tidak dibeli dengan jabatan, ia dibangun melalui konsistensi, akuntabilitas, dan keberanian menempatkan kepentingan publik di atas segalanya. Pejabat publik sejati memahami ini; yang lain hanya menodai institusi dengan ambisi tak terkendali.
“Panitia seleksi yang bijak harus tegas: tolak pejabat aktif yang terkesan sebagai pemburu jabatan, ambisius, dan tidak amanah. Bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi menegaskan integritas dan etika bukan barang optional, melainkan mata uang utama dalam pelayanan publik,” pungkasnya. (*)