Apa Itu Kidulting, dan Sisi Positifnya

Pelayananpublik.id- Fenomena kidulting saat ini sedang tren di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan hanya sekarang, bahkan kidulting sudah ada sejak lama.

Apa itu kidulting?

Kidulting berasal dari dua kata dalam bahasa Inggris yakni Kid dan Adulting.

Kid artinya anak-anak, sementara adult artinya orang dewasa.

Sehingga kidulting berarti orang-orang dewasa yang masih memanjakan diri dengan hal-hal yang biasanya membahagiakan anak-anak.

Orang dewasa yang menyenangkan diri dengan kesenangan anak-anak ini misalnya dengan menonton kartun, membeli mainan dan tas-tas lucu.

Nah, fenomena ini sangat terasa di masyarakat Indonesia sekarang, meskipun sudah ada sejak lama.

Menurut laporan dari India Today pada Selasa 3 Juni 2025, meski ini terlihat seperti tren viral baru, namun kidulting ternyata istilah kidult ini sudah ada sejak 1980 dan pertama kali muncul di majalah Times pada 11 Agustus 1985 dalam artikel “Coming Soon: TV’s New Boy Network.”

Saat itu, istilah ini dimaksudkan dengan makna ganda – pertama seorang anak yang berpura-pura dewasa, dan kedua, orang dewasa yang kekanak-kanakan.

Namun makna lainnya seperti yang dipahami saat ini, merujuk pada fenomena sosial orang dewasa yang tumbuh bersenang-senang dengan kenangan dan hal-hal yang menyenangkan dari masa anak-anak.

Bahkan, perusahaan riset pasar dan teknologi asal Amerika Serikat, Circana, dalam laporannya menunjukkan bahwa demografi kidult merupakan pendorong utama dalam industri mainan.

Jadi, orang dewasa yang dimulai dari usia 18 tahun ke atas, justru menjadi pasar penjualan mainan anak-anak.

Mereka menjadi kelompok usia yang paling cepat berkembang di pasar mainan selama dua tahun terakhir dengan peningkatan penjualan sebesar 5,5 persen, sementara remaja (12–17 tahun) tumbuh sebesar 3,3 persen.

Sisi Positif Kidulting

Selama dilakukan secukupnya kidulting tidak akan merugikan siapapun. Apalagi menurut pandangan sisi psikologi, kidulting bisa menekan stress.

Di tengah tekanan hidup yang makin menyesakkan, sebagian orang dewasa justru menemukan ketenangan lewat hal sederhana, ya mainan yang identik dengan anak-anak.

Psikolog klinis dari Tabula Rasa, Arnold Lukito, menjelaskan bahwa kidulting bukan sekadar tren, melainkan bentuk respons psikologis terhadap tekanan hidup modern.

“Secara psikologis, mainan adalah simbol kontrol, kenangan, dan identitas diri,” katanya.

Saat kecil, mainan memberi rasa aman sekaligus ruang untuk berimajinasi. Saat dewasa, dunia terasa semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, sehingga otak mencari cara untuk mengakses kembali emosi positif masa kecil seperti rasa ingin tahu, spontanitas, dan kehangatan.

Menurut Arnold, menghidupkan kembali sisi kanak-kanak dalam diri, dalam arti child-like bukan childish, justru bisa membawa manfaat besar.

“Aktivitas seperti mengoleksi atau bermain mainan dapat menurunkan stres, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan kreativitas,” jelasnya.

Melalui kidulting, seseorang bisa tetap terhubung dengan sisi diri yang polos dan kreatif, sesuatu yang sering terpinggirkan dalam kehidupan orang dewasa yang serba serius dan terburu-buru.

Namun, apakah hal ini bisa dianggap kekanak-kanakan? Menurut Arnold tidak selalu, karena yang membedakan adalah motivasi dalam membeli mainan tersebut.

“Jika membeli mainan menjadi bentuk pelarian ekstrem dari realitas, misalnya sampai mengabaikan tanggung jawab atau kondisi keuangan-itu bisa menjadi tanda escapism yang tidak sehat,” kata dia.

Sebaliknya, jika membeli mainan dilakukan dengan sadar, terukur, dan memberi rasa gembira tanpa menimbulkan masalah, kidulting justru bisa menjadi bentuk self-care dan ekspresi diri yang sehat.

Bahkan, jelasnya, secara neurosains, aktivitas semacam ini memicu pelepasan hormon dopamin dan serotonin, dua zat kimia otak yang membantu menyeimbangkan stres kronis.

Jadi, jika membeli action figure membuat Anda tersenyum setelah hari panjang yang melelahkan, jangan buru-buru menuduh diri kekanak-kanakan.

“Mungkin Anda hanya sedang kidulting, yakni cara sederhana tapi bermakna untuk menjaga kewarasan di tengah hidup yang makin keras,” tutup Arnold. (*)