Petani Mandiri vs Retorika Surplus, Ketika Fakta di Sawah Membungkam Podium Mentan

Pelayananpublik.id- Klaim stok beras melimpah dinilai tidak sesuai dengan kenyataan di kalangan petani padi. Saat ini para petani masih setia menimba air dari saluran irigasi seadanya. Mereka memasang pompa diesel, membenahi galengan, dan bekerja keras memastikan padi tetap tumbuh di tengah ketidakpastian cuaca dan harga. Ada kebanggaan yang tak ternilai terhadap ketahanan pangan negeri ini, setidaknya, tidak runtuh berkat keringat mereka.

Hal ini dikatakan Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW).

Ia mengatakan di podium ibu kota, narasi yang terdengar justru gemuruh klaim “stok beras melimpah” hingga “serapan gabah naik 2.000%”.

“Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang kini menjabat untuk ketiga kalinya, kembali meluncurkan jargon-jargon bombastis layaknya periode pertamanya di 2014–2019. Perbedaannya, kali ini publik lebih kritis, sebab data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan Ombudsman, dan kesaksian petani sendiri memberi bukti yang berlawanan,” ujarnya.

Iskandar membeberkan dalam catatan BPK selama satu dekade, masalahnya bukan soal produksi semata, tetapi tata kelola, yaitu terkait:

1. Kerugian Rp1,2 triliun akibat pembelian gabah di atas HPP di tahun 2015.
2. Ada 35% beras cadangan rusak karena gudang buruk pada 2018.
3. Pemborosan Rp2,8 triliun untuk biaya gudang tanpa distribusi optimal di 2021.
4. Maladministrasi cadangan beras dengan potensi kerugian Rp7 triliun temuan tahun 2024 oleh Ombudsman.

“Semua temuan itu bukan sekadar angka. Mereka adalah cerita tentang sistem yang bocor, distribusi yang kacau, dan kebijakan yang lebih sering fokus pada pencitraan ketimbang solusi,” ungkapnya

Iskandar menyebut di periode ketiga kalinya, Amran mengangkat isu beras oplosan seolah temuan heroik.

Padahal, sejak 2015 BPK telah mencatat anomali stok dan distribusi yang berpotensi menjadi lahan permainan mafia. Publik pun bertanya-tanya, mengapa pengungkapan itu tidak dilakukan sejak dulu?

Sehingga pengungkapan kasus ini lebih terasa sebagai pengalih isu di tengah kritik atas klaim surplus empat juta ton beras, sementara harga di pasar tetap naik dan impor masih jadi andalan.

“Video petani yang viral memperlihatkan mereka mengairi sawah dengan alat seadanya, mencari pupuk bersubsidi yang tak kunjung datang, hingga terpaksa menjual gabah di bawah harga pokok produksi adalah tamparan keras bagi klaim sukses,” ucapnya.

Di lapangan, kata dia, surplus hanyalah istilah di layar proyektor. Petani merasakan sebaliknya, yakni pendapatan stagnan, biaya produksi tinggi, dan kebijakan yang lebih memihak importir serta pemain besar.

IAW menegaskan bahwa perubahan bukan sekadar retorika baru. Mentan harus:

1. Menutup temuan lama BPK dengan target waktu jelas.
2. Menggelar audit darurat stok beras nasional dengan melibatkan auditor independen dan perwakilan petani.
3. Membangun dashboard real-time yang memuat data stok, mutu, dan harga gabah per daerah agar publik ikut mengawasi.
4. Melindungi penggilingan kecil dan UMKM melalui kontrak penyerapan yang adil.
5. Memastikan transparansi dalam setiap kebijakan impor untuk menghentikan dominasi kartel pangan.

Surplus tidak bisa hanya jadi judul berita atau tagline kementerian. Surplus adalah ketika harga beras turun, gudang tidak lagi menyimpan beras busuk, petani tersenyum karena hasil panennya laku dengan harga layak, dan semua rekomendasi audit tuntas dijalankan.

“Selama itu belum terjadi, klaim surplus hanyalah surplus kata-kata. Di saat pejabat sibuk berpidato, petani yang membanting tulang tanpa subsidi layaklah yang sebenarnya menjaga negeri ini tetap makan,” pungkasnya. (*)