Pelayananpublik.id- Narasi “swasembada”, “stok melimpah”, dan “serapan gabah naik 2.000%” kerap menggema dari podium Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman.
Namun, di balik retorika optimis tersebut, harga beras di pasar tetap tinggi, petani merana, dan gudang Bulog dipenuhi beras rusak.
Melihat itu, Indonesian Audit Watch (IAW) coba membongkar kesenjangan antara klaim dan realita berbasis data.
Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) mengatakan sejak pertama kali dilantik pada 2014 dan kembali pada 2023, Amran Sulaiman konsisten dengan gaya komunikasi yang penuh klaim besar. Namun, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kondisi di lapangan justru menunjukkan cerita yang berbeda
“Klaimnya, stok beras surplus dan melimpah. Faktanya, harga beras konsisten tinggi, impor terus berjalan, dan BPK berulang kali menemukan stok beras lama yang rusak di gudang Bulog, menyebabkan kerugian negara yang membengkak hingga triliunan rupiah,” beber Iskandar.
Contoh lain adalah klaim serapan gabah petani naik 2.000% dalam tiga bulan. Faktanya klaim ini dipertanyakan karena tidak disertai transparansi data pembelian, seperti kontrak, invoice, dan bukti pembayaran kepada petani dengan harga yang sesuai HPP.
Selain itu Iskandar menyebut pula klaim alih fungsi lahan tidak separah yang dikhawatirkan yaitu 100 ribu hektare, dan sawah justru bertambah 200 ribu hektare.
“Faktanya data BPS menunjukkan angka alih fungsi lahan yang lebih rendah (30-40 ribu hektare). Yang penting diperdebatkan bukan hanya angkanya, tetapi kualitas dan produktivitas lahan yang hilang dan yang ditambahkan,” jelasnya.
Iskandar menjelaskan IAW merancang kerangka analisis untuk menguji setiap klaim pejabat publik secara rasional.
“Stok vs harga: jika stok benar-benar melimpah, mengapa harga tidak kunjung turun? Angka serapan: klaim peningkatan fantastis harus dibuktikan dengan data waktu, lokasi, volume, dan mutu yang transparan. Data kahan: membandingkan data satelit dengan data survei sampel BPS, dengan fokus pada dampak produktivitas.Distribusi: klaim “pergeseran distribusi” untuk kelangkaan beras premium harus dibuktikan dengan dokumen pengiriman (DO) dan peningkatan stok di pasar tradisional. Subsidi dan penegakan hukum: memastikan beras bersubsidi dan fortifikasi tepat sasaran, bukan justru dialihkan ke jalur premium yang berpotensi koruptif,” jelasnya lagi.
Sayangnya, setelah melakukan ditemukan fakta bahwa pada periode 2014-2019 janji swasembada pangan tidak pernah benar-benar terwujud. Indonesia tetap mengimpor beras, dan temuan BPK mengungkap kelemahan tata kelola.
“Periode 2023-sekarang klaim kembali lebih sensasional. Namun, realitanya adalah kenaikan harga beras, mati surinya penggilingan padi kecil (UMKM), dan ketergantungan pada impor. Rekomendasi audit BPK dari tahun-tahun sebelumnya tidak dijadikan pelajaran,” katanya lagi.
Iskandar menegaskan IAW tidak hanya mengkritik, tetapi juga berupaya memberikan solusi konkret untuk membawa tata kelola pangan dari wilayah “mulut” ke “metode”.
“Jadikan LHP BPK sebagai panduan. Setiap temuan audit harus dituntaskan dengan bukti yang dapat diakses publik,” katanya.
Pemerintah juga perlu melakukan audit tematik nasional untuk memverifikasi stok harian, program SPHP, dan lahan sawah yang diklaim.
Selain itu, lanjut Iskandar, pemerintah harus membuat dashboard publik real-time yang memadukan data Kementan, Bulog, dan Bapanas untuk memantau stok, harga, dan distribusi.
“Lindungi penggilingan padi kecil dengan memastikan akses mereka terhadap bahan baku dan program pemerintah. Penegakan hukum yang presisi, tidak menyasar pelaku UMKM kecil Wajibkan “data pack” untuk setiap klaim menteri. Setiap pernyataan tentang surplus harus disertai dataset yang dapat diunduh dan diverifikasi publik,” ucapnya
Iskandar mengatakan surplus sejati bukanlah soal kata-kata di podium, melainkan tentang harga beras yang terjangkau di pasar. Gudang yang dikelola dengan sehat tanpa barang rusak. Penggilingan padi kecil yang bisa bernapas lega. Rekomendasi BPK yang ditindaklanjuti dengan serius.
“Tanpa bukti yang nyata dan dapat diverifikasi, klaim “surplus” hanyalah surplus kata-kata yang tidak mengisi piring rakyat,” pungkasnya. (*)