Kasus Jurnalis YNQ Dihentikan, Polisi Dinilai Tidak Paham Kebebasan Pers

Pelayananpublik.id- Kepolisian baik di daerah maupun pusat dinilai tidak memahami kebebasan pers. Hal itu diakibatkan banyaknya kasus kekerasan terhadap pers yang dihentikan dan tidak tuntas.

Teranyar, adalah kasus jurnalis perempuan Inside Lombok yang dipersekusi oleh pengembang perumahan.

Jurnalis berinisial YNQ yang sedang dalam kondisi hamil mendapat kekerasan verbal serta fisik dimana oknum pengembang berinisial AG meremas wajahnya.

bank sumut selamat hari raya idul fitri

Kasus tersebut telah dilaporkan ke Polresta Mataram namun sudah dihentikan sejak tanggal 9 April 2025.

Penghentian kasus ini mendapat perhatian dari berbagai pihak yang menyesalkan sikap kepolisian.

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Indonesia, Erick Tanjung mengatakan kepolisian di daerah belum memahami kebebasan pers. Dimana pihak kepolisian mengarahkan pihak korban untuk melaporkan dengan pasal 335, 370 KUHP bukan UU Pers.

“Padahal, seorang jurnalis yang sedang melaksanakan tugas berhak dilindungi UU Pers dan ketika mendapat kekerasan seharusnya pelaporan mengambil pasal 18 ayat 1 UU nomor 40 tahun 1999, dimana ada unsur pidana disitu bagi orang yang menghalangi kerja pers,” jelasnya pada Diskusi Pers “Mengawal Kasus Persekusi Wartawati Lombok” yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Rabu (17/4/2025).

Contoh lain, ungkap Erick, adalah serangan teror bom terhadap jurnalis senior di Papua yang kasusnya di SP3. Dimana kini pihak KKJ sedang menempuh jalur gelar perkara khusus bersama.

“Bulan lalu juga ada penghentian kasus di Flores di Polda NTT. Jurnalis sekaligus pemred Floresa mengalami kekerasan fisik oleh kepolisian. Saat meliput demonstrasi ditangkap dan karya jurnalistiknya diperiksa,” katanya.

Di sidang etik kepolisian, kata dia, pelaku terbukti bersalah, namun sanksinya ringan yakni teguran dan permintaan maaf saja. Sedangkan proses hukumnya juga dihentikan.

Bukan hanya di daerah, bahkan di pusat yakni Bareskrim Polri, penyidik juga dinilai tidak memahami kebebasan pers dimana penyidik selalu mengarahkan untuk melaporkan dengan pasal 335, 370 KUHP.

“Ini juga terjadi saat kami melaporkan teror kepala tikus Tempo ke Bareskrim, itu juga tidak mudah. Sama hal nya yang terjadi seperti di Polres Mataram dan lainnya. Penyidik dinilai tidak paham UU Pers. Termasuk ketika teror terjadi, itu sudah memenuhi unsur pidana. Dan ini harus diketahui oleh kepolisian. Karna penyidik terus mengarahkan ke pasal 335, 370 KUHP. Hingga berdebat 6 jam, baru bisa bikin surat LP. Setelah kami hubungi Kabareskrim baru diterima oleh penyidik. Sampai segitunya,” jelas Erick.

Dalam diskusi itu, Perwakilan Polri, Endang mengatakan kasus YNQ bukan dihentikan penyidikan tapi penyelidikan. Dengan demikian, langkah hukum yang bisa dilakukan adalah mengajukan gelar perkara khusus.

Dari gelar perkara khusus ini bisa dilihat apakah penyidik telah melakukan tugasnya sesuai prosedur atau tidak.

“Jika hasil gelar perkara khusus tetap sama seperti sebelumnya, korban bisa membuat laporan baru dengan pasal yang berbeda,” jelasnya.

Ia mengatakan YNQ bisa mengajukan laporan baru dengan menggunakan UU No 40 tahun 1999 tentang pers. Ia juga menyarankan agar korban selalu didampingi dan lebih baik masuk lewat unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).

Hadir dalam diskusi tersebut, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. Ia mengatakan akan ikut mengawal kasus yang menimpa jurnalis YNQ hingga kasusnya selesai.

Komitmen yang sama juga dilakukan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dan LBH Pers. (*)