Pelayananpublik.id- Jika Anda berkunjung ke Sumatra Utara mungkin Anda akan mendengar istilah monza. Kata monza sendiri biasanya digunakan untuk menyebut barang bekas pakai, biasanya pakaian, sepatu atau tas.
Monza berarti loak, roger dan istilah yang menerangkan bahwa barang tersebut bukan barang baru. Kata yang lebih keren yang sering digunakan di e-commerce adalah barang pre-loved atau pre-owned.
Nah, Kata monza sebagai bahasa Medan yang sering dianggap bermakna pakaian bekas itu nyatanya bukan makna sebenarnya.
Menurut Salah satu penyusun Kamus Medan dan pegawai Badan Bahasa Provinsi Sumatera Utara Anharuddin Hutasuhut menjelaskan sebenarnya monza diambil dari nama tempat. Dirinya mengatakan bahwa monza merupakan akronim dari Monginsidi Plaza.
“Sepanjang pengetahuan, kata Monza akronim dari Monginsidi Plaza,” kata Anharuddin dikutip detikSumut.
Penyebutan monza sebagai pakaian bekas menurut Anharuddin disebabkan adanya realitas sosial yang terjadi di Mongonsidi Plaza. Dia menuturkan Monginsidi Plaza memang menjual barang-barang bekas.
Toko-toko yang ada di sekitaran Monginsidi Plaza itu tak sedikit menjajakan pakaian bekas. Realitas sosial tersebut kemudian akhirnya menyebar dan membuat istilah monza sebagai pakaian bekas.
“Sekarang kan begini, dia kan akronim atau singkatan dari Monginsidi Plaza. Memang dia tempat menjual barang-barang bekas,” katanya.
“Ini mungkin asal-usulnya Monginsidi Plaza itu banyak toko-toko yang menjual pakaian bekas dan sangat terkenal munculah istilah itu disingkat Mangosidi Plaza jadi Monza,” sambungnya.
Bahkan menurut Anharuddin, kata monza sebenarnya telah digunakan sejak lama. Dirinya mengatakan bahwa istilah tersebut telah ada sejak tahun 1991.
“Karena masa kuliah saya dulu tahun 91 itu sudah ramai, sudah dikenal kata Monza itu,” pungkasnya.
Perkembangan Monza
Barang monza sendiri kebanyakan datang dari negara lain seperti Korea, Jepang, Thailand, Malaysia dan lainnya.
Dulu monza adalah alternatif bagi orang kurang mampu untuk membeli pakaian. Sebab harga monza dan pakaian baru itu sangat jauh berbeda sementara kualitas bisa diadu.
Bayangkan saja barang-barang kualitas luar negeri bisa dibayar dengan harga murah. Tentu tak sedikit orang yang menggemarinya.
Nah, kalau dulu barang monza itu benar-benar bagaikan barang bekas yang tidak ada harganya, sekarang justru sebaliknya. Monza memiliki pasar yang lebih besar karena barang yang dijual bahkan kualitas seperti baru dan masih memiliki tag label baru.
Bahkan sekarang masyarakat kita sangat memperhatikan brand-brand ternama untuk mengikuti kemajuan zaman. perkembangan teknologi menunjukkan tren pakaian-pakaian yang digemari oleh remaja dan para influencer.
Tentu saja pakaian itu bagi mereka influencer yang notabene orang kaya, mereka akan memakai pakaian yang brand mahal. Para pengikutnya masih bisa mengikuti dengan membeli pakaian monza dengan brand yang sama namun dengan harga yang jauh lebih murah. Disinilah pasar monza itu, masyarakat pemburu barang branded.
Maka jangan kaget ketika anda menemukan pakaian bekas dengan harga yang fantastis. Sebab monza yang merupakan barang bekas bisa disulap menjadi barang seperti baru, dicuci, disetrika dan lainnya. Sehingga harga yang ditawarkan bukanlah seharga barang monza emperan.
Dari segi penjualan pun, barang monza bukan lagi dijual di emperan melainkan sudah masuk plaza bahkan toko-toko online di berbagai e-commerce. Seolah naik kelas, barang monza pun lebih diminati daripada barang dalam negeri yang harganya beda tipis.
Namun jangan lupa, monza termasuk barang yang dilarang untuk diperjualbelikan karena pemerintah telah melarang impor barang bekas dari negara lain.
Pemerintah belakangan ini juga melakukan penertiban dengan membakar ball-ball pakaian bekas yang diselundupkan melalui pelabuhan tikus.
Pemerintah melakukan pelarangan itu karena menganggap barang monza membuat produk tekstil buatan dalam negeri lesu. Meski memiliki pasarnya sendiri, nyatanya pemerintah mengklaim bahwa monza lah yang berperan mematikan tekstil Indonesia. (*)