Pelayananpublik.id- Penyelewengan kekuasan kembali terjadi di instansi pemerintah. Kali ini terjadi di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dimana lembaga itu dianggap memiliki kewenangan yang amat besar dalam melakukan audit baik terhadap pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
BPK kini tengah menjadi sorotan setelah dua pimpinannya, yakni Achsanul Qosasi dan Pius Lustrilanang terseret kasus korupsi jual-beli audit. Kejaksaan Agung menetapkan Achsanul menjadi tersangka kasus korupsi proyek BTS 4G di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dia ditengarai menerima uang Rp 40 miliar untuk mengkondisikan hasil audit BPK terkait proyek menara pemancar tersebut.
Sementara, Pius terseret kasus korupsi jual-beli audit BPK di Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Dalam kasus itu, Komisi Pemberantasan Korupsi menyegel dan menggeledah ruang kerja Pius, serta menyita sejumlah dokumen. Kasus ini juga menjadikan 3 auditor dari kantor BPK Perwakilan Papua menjadi tersangka.
Nama Achsanul dan Pius menambah panjang deretan auditor BPK yang terjerat kasus hukum. Sebelumnya, mantan anggota BPK Rizal Djalil divonis 4 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama karena menerima suap dari korupsi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan BPK adalah lembaga tunggal yang diberikan kewenangan untuk mengaudit keuangan negara. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
“Dengan posisi undang-undang sangat kuat dan hak tunggal BPK, maka dia menjadi sangat superior untuk menentukan keberhasilan sebuah pertanggungjawaban laporan keuangan,” kata Tauhid dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (20/11/2023).
Di lain sisi, dia mengatakan pengawasan terhadap BPK terbilang lemah. Menurut dia, saat ini BPK hanya memiliki pengawasan internal setingkat Inspektur Jenderal. Menurut Tauhid, kewenangan yang besar dan tidak disertai pengawasan yang cukup inilah yang menyebabkan auditor BPK hingga pimpinannya rentan terjerat korupsi.
“Harusnya memang ada badan pengawas atau supervisor yang tugasnya mengawasi, menerima keluhan dari masyarakat, menerima aduan atas hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK, sehingga laporan itu nantinya bisa sampai ke DPR atau pemerintah, katakanlah itu bisa mengurangi sisi kelemahan pelaksanaan UU BPK,” kata Tauhid.
Sementara itu, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman punya pendapat serupa dengan Tauhid. Zaenur berpendapat, BPK memiliki kewenangan yang sangat besar, namun minim pengawasan. Dia menilai pengawasan internal BPK perlu diperkuat.
“BPK punya kewenangan sangat besar menentukan hasil audit, internal BPK harus memiliki pengawasan yang andal, mekanisme pengawasan yang teruji dan prima,” kata dia.
Dia mengatakan mekanisme pengawasan internal harus memastikan kepatuhan dari insan BPK terhadap hukum dan peraturan perundangan. Selain itu, Zaenur menyarankan BPK harus punya mekanisme pelaporan atau whistle blowing system. “Sistem tersebut agar pihak eksternal dapat melaporkan berbagai bentuk pelanggaran apalagi yang berbentuk pidana,” kata dia. (*)