Pelayananpublik.id- Baru-baru ini viral informasi tentang adanya penjualan produk Red Wine dengan merek Nabidz yang diklaim telah bersertifikat halal di media sosial.
Tentu saja informasi itu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Bagaimana bisa minuman beralkohol mendapatkan label halal MUI.
Terakit itu, lembaga yang bertanggung jawab dalam mengeluarkan sertifikat halal produk di Indonesia pun angkat bicara.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) memastikan tidak pernah memberikan sertifikasi halal pada produk minuman wine. BPJPH hanya memberikan sertifikasi halal pada produk minuman jus buah.
Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham mengatakan saat ini pemilik dari minuman wine tersebut sudah diproses untuk ditindak lebih lanjut. Namun, yang bersangkutan sudah meminta maaf atas keramaian produk tersebut.
Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH. Asrorun Niam Sholeh mengimbau agar seluruh masyarakat Muslim tetap kritis terhadap produk yang akan dikonsumsinya.
Kiai Niam menegaskan, MUI tidak pernah menetapkan kehalalan atas produk Nabidz. Oleh karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas terbitnya sertifikat halal produk Nabidz.
“Sesuai pedoman dan standar halal yang dimiliki MUI, MUI tidak menetapkan kehalalan produk yang menggunakan nama yang terasosiasi dengan yang haram. Hal ini termasuk dalam hal rasa, aroma, dan kemasan seperti wine. Apalagi jika prosesnya melibatkan fermentasi anggur dengan ragi, persis seperti pembuatan wine,” kata Kiai Niam dalam keterangan tertulis dikutip Kamis (27/7/2023).
Kiai Niam menjelaskan, berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standardisasi Fatwa Halal terdapat empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Pertama, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.
Kedua, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada nama-nama benda/binatang yang diharamkan terutama babi dan khamr, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti nama bakso, bakmi, bakwan, bakpia dan bakpao. Selanjutnya, tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan bahan campuran bagi komponen makanan/minuman yang menimbukan rasa/aroma (flavour) benda-benda atau binatang yang diharamkan, seperti mi instan rasa babi, bacon flavour, dll.
“Tidak boleh mengonsumsi makanan/minuman yang menggunakan nama-nama makanan/minuman yang diharamkan, seperti whisky, brandy, beer, dan lain-lain,” kata Kiai Niam.
Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan bahwa minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah minuman yang mengandung alkohol/etanol (C2H5OH) minimal 0.5 persen Minuman beralkohol yang masuk kategori khamr adalah najis dan hukumnya haram, sedikit ataupun banyak.
“Melihat dari dua fatwa tersebut, berarti ada persyaratan yang tidak terpenuhi pada produk Nabidz. Pertama, terkait dengan bentuk kemasan dan sensori produk. Kedua, produk minuman telah melalui serangkaian proses sehingga diperlukan uji etanol. Oleh karena itu, produk seperti ini seharusnya tidak bisa disertifikasi melalui jalur self declare,” kata Kiai Niam menegaskan.(*)