Pelayananpublik.id- Gerakan Perempuan untuk Demokrasi Sumatera Utara (GPDSU) melaporkan secara resmi seluruh anggota Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI).
Pelaporan ini dilakukan karena Bawaslu RI dinilai secara sadar melanggar nilai-nilai kesetaraan gender, hak-hak perempuan dan Undang-undang nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memberi mandat 30% keterwakilan perempuan. Adapun laporan ini disampaikan ke Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) .
“Hari ini kami dari GPDSU yang terdiri dari lembaga maupun individu peduli pada keberadaan dan partisipasi perempuan dalam proses kepemiluan khususnya di Sumatera Utara, melaporkan secara resmi seluruh anggota Bawaslu RI ke DKPP RI. Kami menilai bahwa anggota Bawaslu RI secara sah dan meyakinkan tidak lagi memiliki perspektif gender secara baik dalam penyelenggaraan pemilu,” ujar Koordinator GPDSU, Feri Wira Padang, Rabu (26/7/2023)
Dengan tidak mempertimbangkan posisi perempuan pada keanggotaan Bawaslu Propinsi Sumatera Utara Periode 2023 2028, kaya dia, pertanda bahwa posisi perempuan masih direndahkan, didiskriminasi, tidak dianggap dan bahkan diabaikan untuk terlibat secara penuh serta terbuka dalam terselenggaranya pemilu yang jujur, adil, rahasia.
Ia menyebutkan pelaporan ini juga berdasarkan atas kajian GPDSU, dimana dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasal 92 poin ke 11 menyatakan bahwa Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Propinsi, dan Bawaslu Kabupaten/ Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% Gagalnya anggota komisioner Bawaslu RI menterjemahkan ini dalam penentuan seleksi akhir anggota Bawaslu Propinsi Sumatera Utara berakibat fatal pada posisi perempuan di Sumatera Utara yang semakin tidak di pandang keberadannnya oleh anggota Bawaslu RI.
“Anggota Bawaslu RI secara nyata melanggar Undang-undang yang kami sebutkan sebelumnya, maka untuk menguatkan jaminan penyelenggaraan pemilu yang adil terhadap perempuan, kami mendesak agar DKPP RI menerima pengaduan ini dan menyidangkan sesegera mungkin. Cara pandang yang merendahkan posisi perempuan adalah cara pandang yang usang/ ketinggalan zaman, merendahkan martabat perempuan. Oleh karenanya penting hal ini direspon secara cepat,” tambahnya.
Bawaslu RI juga dianggap melanggar instrumen, prinsip dan standar pemenuhan hak-hak perempuan secara global dan nasional. Karena perlakuan anggota Bawaslu RI ini tidak bersandar pada standar global yang telah diatur secara baik, apalagi pasca diratifikasinya Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Wanita (Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Againt Women) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/Wanita (Convention on The Elimination of All Form of Discrimination Againt Women).
“Perlu kita ketahui dalam Konvensi CEDAW secara tegas tertulis bahwa seluruh kebijakan dan perlakuan Negara baik dalam bentuk program dan aktifitas lainnya, wajib mencerminkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Negara-negara internasional sepakat menolak seluruh aktifitas, program dan kebijakan yang mendiskriminasi hak-hak dan keterlibatan perempuan, dalam hal ini sebagai penyelenggara Pemilu,” lanjutnya.
Sebelumnya bahwa Panitia Seleksi (Pansel) Bawaslu Propinsi Sumatera Utara telah menyampaikan hasil seleksi akhir dengan menyampaikan 14 nama yang terdiri dari 12 orang laki-laki dan 2 orang perempuan ke Bawaslu RI. Tetapi dalam Pengumuman Hasil Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Anggota Bawaslu Propinsi Sumatera Utara Masa Jabatan 2023-2028 dengan nomor 492/KP.01.00/K1/07/2023 menetapkan 7 orang komisioner yang terdiri dari laki-laki secara keseluruhan. Pengumuman ini kemudian menjadi polemik bagi aktifis perempuan di Sumatera Utara, apalagi ketika proses seleksi Pansel telah memperpanjang secara khusus untuk memperioriotaskan keterlibatan perempuan, namun diabaikan tanpa dasar oleh seluruh Bawaslu RI. (*)