Pelayananpublik.id– Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 32/PUU-XIX/2021, Tanggal 29 Maret Tahun 2022, tentang Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang Bersifat Akhir dan Mengikat (Final and Binding), harus dibaca sebagai pendirian Mahkamah Konstitusi atas status dan kedudukan kelembagaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Hal ini juga merupakan penegasan atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 sebelumnya sekaligus pengingat kepada pemangku kepentingan (stakeholder).
“Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan dan mengingatkan karena selama ini berkembang suatu pemahaman dan praktik yang keliru sejak berdirinya DKPP bahwa putusan DKPP tidak dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bahkan setelah Mahkamah Konstitusi memberikan putusan pertama pada Tahun 2013,” kata Advokat Ahmad Irawan kepada wartawan, Kamis (31/3).
Menurut Irawan, hal-hal pokok yang harus diluruskan dan ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam kedua putusannya tersebut adalah bahwa DKPP RI bukan merupakan lembaga peradilan dan DKPP sama halnya dengan KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara pemilu yang memiliki kedudukan setara.
“Putusan DKPP merupakan keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan tata usaha negara,” urai Irawan yang pernah menjadi Tenaga Ahli di Bawaslu RI.
Maka itu, keputusan lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP.
Irawan juga menjelaskan bahwa pemahaman yang dikembangkan selama ini merupakan pemahaman yang keliru seolah-olah putusan DKPP tidak dapat direview dan diuji ke PTUN, apalagi menempatkan putusan DKPP yang bersifat akhir dan mengikat sama derajatnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat akhir dan mengikat (final and binding).
“Maka Putusan Mahkamah Konstitusi ini wajib diapresiasi karena selama ini banyak penyelenggara pemilu yang tidak puas atas putusan DKPP ragu untuk mengajukan gugatan ke PTUN karena pemahaman dan praktik yang keliru dalam pelaksanaan putusan DKPP. Beragam cerita yang pernah kami dengarkan, seperti pertimbangan hukum yang tidak cukup memadai dalam penjatuhan sanksi, fakta dan bukti yang lemah serta alasan hukum lainnya. Namun, penyelenggara pemilu yang diberi sanksi seperti tidak berdaya dan tidak memiliki ruang untuk mengajukan banding/keberatan atas putusan yang dikeluarkan oleh DKPP. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi menjadi alas hak dan angin segar saat ini bagi penyelenggara yang pernah diberi sanksi untuk menguji kebenaran putusan dan sekaligus merehabilitasi nama baik serta kehormatannya,” kata Irawan lagi.
Irawan juga menambahkan penting bagi KPU RI dan Bawaslu RI ke depan untuk membuat pedoman tekhnis dalam menindaklanjuti putusan DKPP agar terdapat suatu jaminan hak atas kepastian hukum yang adil bagi jajarannya dalam pelaksanaan putusan DKPP. (*)