Gegara Minyak Goreng, Masyarakat Alami Kerugian Ekonomi Hingga Rp3,38 T

Pelayananpublik.id- Persoalan minyak goreng memang membuat geram. Sebab hingga saat ini harga minyak goreng masih tinggi. Pemerintah pun dianggap gagal mengendalikan harga bahan pokok tersebut.

Meskipun harganya tinggi, masyarakat tetap membelinya karena merupakan bahan pokok. Bahkan terjadi antrean gila-gilaan untuk mendapatkan minyak goreng harga normal di banyak supermarket.

Terkait itu, kerugian ekonomi yang dialami masyarakat pun diperkirakan mencapai Rp3,38 triliun.

Hal ini dikatakan Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) dikutip dari Bisnis Indonesia, Sabtu (12/3/2022).

Kerugian tersebut merupakan akumulasi dari selisih harga rata-rata minyak goreng pada periode April 2021—Januari 2022 dibandingkan dengan sebelumnya.

Dalam riset kebijakan Ideas, estimasi kerugian masyarakat diperoleh dengan menjadikan harga rata-rata minyak goreng pada periode Januari—Maret 2021 sebagai harga acuan harga normal.

“Akumulasi kerugian sendiri berasal dari dua periode, yakni pada April—September 2021 sebesar Rp980 miliar dan Oktober 2021—Januari 2022 sebesar Rp2,4 triliun,” tulis Ideas

Bahkan apabila selama periode kelangkaan minyak goreng setelah 19 Januari 2022, masyarakat mempertahankan konsumsi minyak goreng dengan membeli pada harga yang lebih tinggi, maka kerugian masyarakat akan makin besar.

Semnetara itu, konsumsi minyak goreng nasional sendiri diperkirakan mencapai 3,3 miliar liter pada 2021. Dimana konsumsi per kapitanya per tahun mencapai 12,3 liter.

Sedangkan pengeluaran per tahun masyarakat untuk membeli minyak goreng diperkirakan mencapai Rp43 triliun atau Rp156.000 per kapita per tahun.

Ideas mencatat bahwa kelas menengah merupakan kelompok yang mendominasi konsumsi minyak goreng nasional dan paling terdampak kenaikan harga.

Kelompok dengan pengeluaran per kapita per bulan sekira Rp1 juta—Rp3 juta, yang merupakan 40,7 persen populasi Indonesia, menyumbang sampai 46,4 persen konsumsi minyak goreng nasional atau sekitar 4,23 juta liter per hari atau 1,52 miliar liter per tahun. Kelompok ini mengalami kerugian sekitar Rp1,57 triliun.

Sedangkan kelompok berpengeluaran Rp400.000 per kapita/bulan sampai Rp1 juta per kapita/bulan menjadi penyumbang konsumsi terbesar dengan persentase 42,2 persen dari total konsumsi. Dengan konsumsi mencapai 1,39 miliar liter per tahun, potensi kerugian kelompok ini menyentuh Rp1,43 triliun.

Sementara berdasarkan wilayah, kerugian ekonomi terbesar dari harga tinggi minyak goreng dialami oleh konsumen rumah tangga di Jawa. Dengan konsumsi yang diperkirakan 5,1 juta liter per hari, perkiraan masyarakat di Jawa sebesar Rp1,99 triliun.

Kerugian terbesar kedua dialami konsumen rumah tangga di Sumatra yang konsumsi total per harinya mencapai 2,5 juta liter. Kerugian diestimasi mencapai Rp850 miliar selama April 2021—Januari 2022.

Sementara itu, total kerugian yang dirasakan konsumen di wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, Maluku dan Papua diestimasi mencapai Rp540 miliar.

Mengutip data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), harga rata-rata minyak goreng curah secara nasional berada di level Rp16.000 per liter, turun 4,78 persen dibandingkan dengan harga rata-rata sebulan lalu. Namun harga ini telah naik 26,98 persen dibandingkan dengan rata-rata harga Maret 2021.

Pemerintah sejauh ini telah menetapkan kebijakan harga khusus atau domestic price obligation (DPO) untuk kebutuhan dalam negeri yang menyasar 30 persen produk CPO dan minyak olein yang diekspor. Lewat kebijakan domestic market obligation (DMO), 30 persen bahan baku minyak goreng rumah tangga dan konsumsi usaha kecil harus dijual dengan harga di bawah harga internasional, yakni Rp9.300 per kg untuk CPO dan Rp10.300 per kg untuk minyak olein. (*)