Pelayananpublik.id- Indonesia masih menjadi negara dengan konsumsi rokok yang tinggi. Bahkan para perokok di kalangan remaja alias pelajar juga masih sangat tinggi yakni 18,8 persen dan 57,8 persen perokok pasif.
Hal itu dikatakan Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto.
“Ada 18,8 persen pelajar usia 13-15 tahun yang merupakan perokok aktif. Sementara 57,8 persen pelajar usia 13-15 tahun terpapar asap rokok,” kata Agus dikutip dari Detik, Senin (29/11/2021).
Ia mengatakan ada beberapa faktor turut memengaruhi hal tersebut, salah satunya iklan rokok.
Ia mengatakan Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia. Tingginya jumlah perokok tersebut sebagian berasal dari kalangan remaja.
Agus mengungkap dari sisi pencegahan agar tidak membeli rokok, ada 60,6% pelajar yang tidak dicegah ketika membeli rokok. Bahkan ada 56% pelajar yang melihat orang membeli rokok dan merokok.
“Tidak hanya itu, ada pula 15,7 persen pelajar yang melihat iklan rokok elektrik di internet, dan 41,5 persen pelajar mengetahui rokok elektrik dari teman-temannya. Ini tantangan yang terbaru, dan nampaknya pemakaian rokok elektrik ini cukup pesat,” ucapnya.
Sementara itu, berdasarkan data dari London School of Public Relations (LSPR), terpaan iklan rokok melalui media online memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Bahkan, hal tersebut turut memicu pelajar untuk merokok.
” Sebanyak 100 persen remaja yang merokok akan tetap merokok setelah melihat iklan rokok. Serta 10 persen remaja memiliki kecenderungan untuk merokok setelah melihat iklan rokok,” katanya.
Kemenko PMK, kata Agus, telah melakukan berbagai upaya pengendalian konsumsi tembakau, di antaranya dengan cara physical dan non-physical.
“Kami di Kementerian sudah melakukan berbagai macam upaya dalam melakukan pengendalian konsumsi tembakau, baik melalui peraturan physical dan nonphysical,” ujarnya.
Adapun langkah physical yang dilakukan yakni penyusunan tarif cukai dengan menjaga harga agar tidak tejangkau perokok pemula, penyederhanaan struktur tarif, serta melakukan kebijakan mitigasi.
Kebijakan mitigasi tersebut, jelas Agus, mengatur 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Hal itu digunakan untuk program kesejahteraan masyarakat, termasuk mitigasi dampak kenaikan cukai bagi petani tembakau dan buruh pabrik rokok.
Sementara itu, untuk kebijakan non-physical yang dilakukan seperti mengembangkan lingkungan sehat dan pelaksanaan regulasi kawasan tanpa rokok di daerah. Selain itu memperluas layanan berhenti merokok dengan target 40 persen faskes di tingkat I di 300 kabupaten/kota, memastikan bansos tidak digunakan untuk membeli rokok.
“Ini menjadi peran kita bersama, tak hanya pemerintah. Kita bisa memulai peran sederhana kita dalam pengendalian konsumsi rokok dengan mengedukasi keluarga kita, khususnya yang masih berusia remaja,” ujarnya.
Di sisi lain, MTCN juga turut menyoroti konsumsi rokok yang ada di Indonesia. MTCN menegaskan pelarangan total iklan, promosi, dan sponsor rokok di seluruh media baik media cetak, media luar ruang, media daring maupun konten media digital.
MTCN mendorong presiden untuk segera mengesahkan revisi PP 109 tahun 2012 dan konsisten menaikan cukai rokok sebagai langkah nyata perlindungan bagi anak Indonesia dari bahaya rokok. Juga menambahkan Pasal Pelarangan total Iklan & Promosi Rokok di Pergub, Perda, dan Perwali/Perbup tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). (*)