Komitmen Berantas Korupsi, Kejati Kalteng dan UPR Webinar Bertajuk ‘Mungkinkah Hukuman Mati Bagi Koruptor’

Pelayananpublik.id- Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah (Kejati Kalteng) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (FH-UPR), melaksanakan webinar bertajuk “Mungkinkah Hukuman Mati Bagi Koruptor” secara hibryd (offline) di Aula Rahan Rektorat Universitas Palangka Raya dan melalui media zoom, Kamis (4/11/2021).

Dalam kegiatan itu, hadir pakar di bidangnya yaitu, Dr. Fahri Hamzah selaku Pengamat hukum dan politik sekaligus mantan anggota Komisi III DPR RI selaku keynote speaker, Prof Dr. Agus Raharjo SH.M.Hum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Prof Dr Suparji Ahmad SH. MH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar dan Dr. Kiki Kristianto SH.MH, Dosen Fakultas Hukum UPR.

Kepala Kejati Kalteng Iman Wijaya SH.M.Hum mengatakan, webinar ini merupakan tindak lanjut dari pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat berkunjung ke Kejati Kalteng pada Kamis 28 Oktober 2021, yang sedang mempelajari kemungkinan hukuman mati bagi pelaku korupsi.

Iman Wijaya SH.M.Hum didampingi Wakil Kepala Kejati Kalteng Siswanto SH.MH selaku penanggungjawab kegiatan webinar dari kejaksaan, Edi Irsan Kuniawan SH.M.Hum Asdatun selaku Ketua Panitia, Dr. Erianto N SH.MH selaku Koordinator Bidang Datun selaku Sekretaris Panitia dan jajaran Bidang Datun menjelaskan, latar belakang diadakannya webinar dengan melihat kondisi yang ada dalam penegakan hukum korupsi, terkait sangat jarangnya pidana hukuman mati bagi pelaku.

Meskipun, kata Kepala Kejati Kalteng hukuman itu sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

“Diantara yang pernah terdengar adalah, tuntutan mati diajukan oleh Penuntut Umum terhadap pembobol Bank BNI senilai Rp1,7 Triliun oleh Ahmad Sidik Mauladi Iskandar Dinata atau Dicky Iskandar Dinata selaku Direktur Utama PT Brocolin Indonesia, yang menerima kucuran dana hasil pembobolan Bank BNI pada Tahun 2006. Dan yang bersangkutan juga berstatus residivis dalam perkara korupsi di Bank Duta sehingga Penuntut Umum berpendapat memenuhi kualifikasi dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mencantumkan pidana hukuman mati. Namun majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpandangan lain, dengan menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara,” sebut Iman Wijaya SH.M.Hum.

Dikatakan Iman Wijaya, penerapan pasal 2 ayat (2) ini memang agak terbatas, karena hanya bisa diterapkan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Menurut Iman Wijaya, sepanjang tindak pidana korupsi dilakukan dalam cakupan ketentuan Pasal 2 ayat (2) di atas tentu tidak jadi persoalan dari segi yurudis. Akan tetapi menjadi kendala dalam menghadapi pelaku tindak pidana korupsi yang sifatnya ekstra ordinary, baik dari segi jumlah kerugian keuangan negara maupun dampak perekonomian negara yang luar biasa, modus operandi yang terencana, menggunakan sarana tekhnologi canggih dan dilakukan secara sistematis, sehingga hanya bisa dilakukan oleh orang orang yang memiliki keahlian khusus apalagi perbuatan korupsi dilakukan secara bersama sama dan berlanjut.

Oleh karena itu, Iman Wijaya SH.M.Hum sangat berharap dalam webinar dengan kolaborasi yang baik antara Bidang Datun dan FH UPR yang sebelumnya sudah diikat dengan adanya Nota Kesepahaman Kerjasama, ditandatangani oleh Kepala Kejati Kalteng dengan Rektor UPR. Dan ditambah sudah ada Perjanjian Kerjasama Bidang Datun dengan Fakultas Hukum, akan dapat menghasilkan hasil webinar yang sangat bermanfaat untuk kedua pihak, penegak hukum dan seluruh masyarakat pencari keadilan.

Diantaranya, berupa kajian yuridis secara mendalam dari sisi akademis disertai pandangan dari praktisi hukum, tokoh masyarakat serta pihak yang konsern terhadap pemberantasan korupsi tentang kemungkinan penjatuhan pidana mati, terhadap keadaan-keadaan tertentu lain selain sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)