Mendikbud: Sekolah Daring Menimbulkan Trauma pada Anak dan Stress pada Orangtua

Pelayananpublik.id- Pandemi Covid-19 membuat beberapa sektor terpuruk termasuk pendidikan. Selama adanya pandemi, sekolah dilakukan dari rumah alias daring. Namun sistem ini tidak sehat jika berlangsung terlalu lama.

Sebab sekolah daring akan menimbulkan masalah psikologis bagi anak juga para orangtua.

Hal itu diungkapkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.

Ia mengatakan pandemi Covid-19 menimbulkan rasa kesepian dan trauma terhadap anak-anak sekolah. Keadaan ini juga turut menimbulkan stres pada diri orang tua di rumah dan meningkatkan tensi dalam hubungan orang tua dengan anak.

Rasa kesepian dan traumatik itu, kata dia, memiliki potensi risiko yang sama sebagaimana kekhawatiran banyak pihak akan terjadinya learning loss.

“Banyak anak-anak kita yang kesepian, banyak anak-anak kita yang secara emosional trauma dengan situasi ini,” ungkapnya dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (28/9/2021).

“Orang tua juga stres di rumah dan menyebabkan berbagai macam isu dan tension antara orang tua dan anak-anaknya,” imbuhnya.

Nadiem mengkhawatirkan masalah tersebut. Sebab, kondisi psikologis itu merupakan bagian kemampuan anak-anak untuk bersikap terbuka terhadap pembelajaran.

Keadaan emosional dan psikologis, kata Nadiem, memang dua hal yang berbeda. Namun demikian, dalam diri anak-anak dua hal itu saling berkaitan.

Masalah lainnya adalah, pandemi Covid-19 juga membuka dan memperlebar ketimpangan yang sebelumnya sudah ada dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Ia menyebutkan sejak sebelum pandemi pun angka Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia sudah tertinggal dibanding beberapa negara lain, termasuk negara tetangga.

“Kita sudah ketinggalan di bidang numerasi literasi dan sains kalo dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita dan juga negara lain,” katanya.

Analisis Kemendikbud Ristek, Bank Dunia, dan sejumlah lembaga riset lainnya menemukan adanya kemungkinan anak-anak kehilangan 0,8-1,2 tahun masa pembelajaran. Hal ini membuat seakan-akan satu generasi kehilangan nyaris satu tahun pembelajaran di masa sekarang.

Dengan demikian, pihaknya terus mengkhawatirkan pembelajaran yang masih saja dilakukan melalui jarak jauh.

Sementara itu, pandemi Covid-19 juga memukul ekonomi dalam negeri, terutama di daerah, semakin buruk. Hal ini juga turut berdampak terhadap aksesibilitas peserta didik terhadap gawai dan internet.

“Itu semuanya memperburuk ketimpangan tersebut,” ujarnya.

Saat ini, kata Nadiem, sebanyak 40 persen sekolah di Indonesia sudah memulai PTM terbatas.

Meski demikian, ia menilai angka itu masih sangat kecil. Untuk mengejar ketertinggalan Indonesia, kata Nadiem, anak-anak harus mengikuti pembelajaran tatap muka terbatas dengan protokol kesehatan yang paling aman.

“Untuk mengejar ketertinggalan itu, sekarang semua hal-hal yang kita lakukan atau mau kita lakukan sebelum pandemi, itu malah menjadi prioritas yang lebih penting lagi sekarang,” ujarnya. (*)