Pelayananpublik.id- Pro kontra mengenai UU ITE masih bergulir. Masyarakat kecewa banyak orang yang mengeluarkan pendapat malah dijerat dengan UU tersebut.
Sebagian masyarakat bahkan menilai banyak pasal yang multitafsir lalu akhirnya salah sasaran.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto.
Ia pun menyambut baik pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan revisi UU ITE.
Jika benar, kata dia, rencana revisi UU ITE menjadi langkah memperbaiki regulasi yang menghambat kritik.
Kendati demikian, menurut Damar, wacana tersebut perlu ditindaklanjuti agar dapat terwujud dan UU ITE bisa benar-benar menjadi undang-undang yang baik.
SAFEnet, kata dia, sudah mencatat daftar sejumlah pasal utama yang bermasalah di UU ITE. Pasal-pasal ini dianggap multitfafsir dan memiliki duplikasi hukum.
“Karenanya, kami menganggap pasal-pasal ini pantas dihapuskan dari UU ITE,” ujarnya.
Ia menyebut beberapa pasal yang dianggap multitafsir dalam UU ITE adalah Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 29.
Selain multitafsir, ada juga beberapa pasal yang dinilai rawan disalahgunakan yakni Pasal 26, Pasal 36, Pasal 40 ayat 2a dan 2b, maupun Pasal 45.
“Jadi, karena ini rawan disalangunakan, bunyinya harus diperbaiki,” ujar Damar melanjutkan.
Terkait itu, Daman mengatakan SAFEnet bersedia melakukan pertemuan untuk membahas persoalan di UU ITE. Dengan demikian, mereka bisa membicarakan masalah ini bukan hanya dari sisi hukum, tapi juga dampaknya.
“Dalam riset CSIS pada 2018, UU ITE itu dianggap telah melenceng dari niatan awal atau original intent-nya. Dan, sekarang telah menimbulkan dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences),” tutur Damar melanjutkan.
Adapun dampak politik dari UU ITE, lanjut dia, misalnya adalah politisi atau kekuasaan memakainya untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
“Sementara dampak sosial dari UU ITE ini dapat merobek jalinan sosial. Sebab dengan UU ini, masyarakat lebih mudah melaporkan orang lain dengan berbagai motif, seperti balas dendam, barter kasus, efek terapi kejut, hingga mempersekusi orang yang berbeda pendapat,” jelasnya
Selain kedua dampak itu, Damar mengatakan sebenarnya ada pula efek jeri atau chilling effect yang dihasilkan oleh UU ITE. Hal ini terjadi karena UU ITE memiliki efek hukuman yang berat dan menimbulkan rasa takut.
“Temuan Koaliasi Masyarakat Sipil memperlihatkan tingkat hukuman (conviction rate) UU ITE sangat tinggi mencapai 96,8 persen. Itu artinya orang yang terjerat UU ITE pasti dihukum,” tuturnya melanjutkan.
Sementara dari orang yang terjerat UU ini, 88 persen itu masuk penjara. Untuk itu, perlu dilakukan dialog sehingga pemerintah melek bahwa persoalannya tidak sederhana. (*)