Pengertian Omnibus Law, Konsep, Tujuan dan Isinya

Pelayananpublik.id- Belakangan ini Omnibus Law menjadi buah bibir seantero Indonesia. Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja pun kini telah disahkan menjadi UU oleh DPR RI

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menuntaskan pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja. Ombibus Law ini akan disahkan dalam rapat paripurna DPR, Senin (5/10/2020).

Pengesahan UU Cipta Kerja ini pun kemudian menimbulkan kontroversi. Banyak pihak yang menolak disahkannya Omnibus Law tersebut, penolakan itu terlihat di media sosial dan media elektronik.

Tapi sebelum setuju atau tidak setuju, ada baiknya pahami dulu apa itu Omnibus Law agar tidak terkesan ikut-ikutan atau hanya meramaikan.

Pengertian Omnibus Law

Omnibus Law disebut juga common law, UU sapu jagad dan lainnya. UU ini bisa merevisi dan membatalkan UU lain sekaligus.

Berikut ini kami rangkumkan penjelasan tentang pengertian omnibus law.

Omnibus Law adalah salah satu metode penyusunan peraturan perundang-undangan yang lebih dikenal dalam sistem hukum Common Law.

Secara harfiah, kata omnibus berasal dari bahasa Latin omnis yang berarti banyak. Umumnya hal ini dikaitkan dengan sebuah karya sastra hasil penggabungan beragam genre, atau dunia perfilman yang menggambarkan sebuah film yang terbuat dari kumpulan film pendek.

Sehingga dengan definisi tersebut jika dikontekskan dengan UU maka dapat diartikan sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum dalam dalam berbagai UU, ke-dalam satu UU payung.

Nah, kalau dari sisi hukumnya, kata omnibus biasanya disandingkan dengan kata law atau bill yang berarti suatu peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatannya berbeda.

Menurut Audrey O Brien (2009) dikutip dari CNBC Indonesia, omnibus law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.

Sementara itu, Barbara Sinclair (2012) menyatakan omnibus bill adalah suatu proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.

Saat ini, pemakaian istilah Omnibus Law banyak dilakukan oleh negara di dunia terutama yang menggunakan tradisi common law system. Di dunia terdapat dua sistem hukum yakni common law system dan civil law system. Indonesia sendiri mewarisi tradisi civil law system.

Nah, menurut sejarahnya, di Amerika Serikat (AS) tercatat UU tersebut pertama kali dibahas pada 1840.

Di Kanada, background paper yang dipublikasikan Library of Parliament dari Parlemen Kanada tentang Omnibus bill: Frequently Ask Questions, Bedard (2012: 2) menyatakan sulit untuk menyatakan kapan pertama kali omnibus bill diajukan di Parlemen Kanada.

Menurut Dodek (2017: 1) dikutip dari Tirto.id, selama beberapa dekade penggunaannya, Omnibus Law berkembang menjadi “undemocratic practise” (praktek yang tidak demokratis) dalam pembentukan undang-undang di Parlemen.

Teknik penyusunan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law dapat mengatasi problem obesitas dan disharmoni regulasi. Tetapi jika menjalankannya tidak semudah yang dibayangkan.

Waktu yang singkat kerap membuat parlemen tidak dapat membahas Omnibus Law cuntuk membahas secara mendalam. Selanjutnya dengan doktrin pemisahan kekuasaan, seolah-olah tidak ada pemisahan antara eksekutif dan legislatif, karena legislatif yang dikuasai oleh koalisi pemerintah akan cenderung mendukung apapun yang diajukan pemerintah.

Konsep Omnibus Law di Indonesia

Omnibus Law yang diterapkan di Indonesia adalah pada UU Cipta Kerja. Awalnya pemerintah mengajukan UU ini untuk mengatasi obesitas regulasi dan mempermudah perizinan berusaha.

RUU Cipta Kerja –semula bernama RUU Cipta Lapangan Kerja – merupakan salah satu RUU yang disusun menggunakan metode omnibus law.

Untuk informasi, RUU Cipta Kerja ini memuat 11 klaster, 15 bab, dan 174 pasal. RUU ini berdampak pada setidaknya 1.203 pasal dari 79 Undang-Undang.

Dalam Omnibus Law ini, beberapa ketentuan dari UU Ketenagakerjaaan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Administrasi Pemerintahan akan dihapuskan.

Dalam konsiderannya, RUU Cipta Kerja disusun antara lain untuk menyerap banyak tenaga kerja, kemudahan berusaha, dan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan berusaha.

Ini juga berkaitan dengan ekspekstasi meningkatkan posisi Indonesia dalam kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB).

Dalam rangka itu, peraturan perundang-undangan dianggap menjadi hambatan, sehingga Presiden mengusulkan penyusunan undang-undangan dengan menggunakan metode omnibus law.

Ciri-ciri Omnibus Law

Menurut Ahmad Redi (2020), dilansir dari Hukum Online, ada 5 ciri Omnibus Law yakni sebagai berikut:

1. Multisektor

Omnibus Law memuat banyak sektor atau multisektor dan terdiri dari banyak materi muatan dengan tema yang sama.

Ada beberapa sektor terkait yang menjadi substansi omnibus law dengan materi muatan yang banyak. Misalnya, satu RUU yang hendak disusun berkaitan dengan sector pemerintahan daerah, sector penanaman modal. Administrasi pemerintahan, sector lingkungan hidup, dan lain-lain. RUU Cipta Kerja yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR mencerminkan banyaknya sector yang harus dikaitkan.

2. Banyak Pasal

Omnibus Law biasanya terdiri dari banyak pasal akibat banyak sektor yang dicakup. Metode omnibus law akan menyebabkan ‘pembengkakan’ pasal-pasal karena banyaknya sector yang terkait.

RUU Cipta Kerja sendiri, misalnya, memuat sekitar 1.203 pasal sebagai konsekuensi keterkaitannnya dengan 79 Undang-Undang.

3. Banyak Peraturan

Omnibus law terdiri atas banyak peraturan perundang-undangan yang dikumpulkan dalam satu perundang-undangan baru. Sebagai akibat banyaknya peraturan yang diperbaiki, baik melalui reformulasi norma (membuat rumusan ulang), maupun menegasikan norma yang ada, dan menciptakan norma baru, maka jumlah undang-undang yang tercakup dalam suatu omnibus law pasti banyak.

4. Tidak terikat

Omnibus law bersifat mandiri, berdiri sendiri, Salah satu watak omnibus law adalah sifatnya yang mandiri sehingga tidak terikat pada peraturan lain yang selevel dan sejenis.

5. Disharmony

Teknis omnibus dipakai untuk menyelesaikan berbagai persoalan norma yang tersebar dalam peraturan perundang-undangan. Tumpang tindih, disharmoni, obesitas, atau ketidaksinkronan menjadi bagian penting yang diubah, dinormakan ulang, atau dihapuskan sama sekali melalui omnibus law. Hal ini dapat menyebabkan perubahan paradigma dalam perundang-undangan.

Tujuan dan Manfaat

Perubahan lewat pembahasan bersama DPR dan Presiden (plus DPD untuk isu daerah), dan lewat putusan Mahkamah Konstitusi, adalah dua jalan yang dapat ditempuh untuk mengubah Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang dapat diuji Mahkamah Agung. Namun, ketiga jalan itu dipandang sudah tidak memadai untuk mengatasi obesitas dan disharmoni peraturan perundang-undangan di Indonesia. Mengubah satu persatu undang-undang yang dinilai menghambat investasi tidak efektif.

-Penyederhanaan Perizinan
-Persyaratan Investasi
-Ketenagakerjaan
-Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM
-Kemudahan Berusaha
-Dukungan Riset dan Inovasi
-Administrasi Pemerintahan
-Pengenaan Sanksi
-Pengadaan Lahan
-Investasi dan Proyek Pemerintah
-Kawasan Ekonomi.

Sementara, Omnibus Law Perpajakan mencakup 6 pilar, yaitu

-Pendanaan Investasi
-Sistem Teritori
-Subjek Pajak Orang Pribadi
– Kepatuhan Wajib Pajak
-Keadilan Iklim Berusaha
-Fasilitas.(*)