Pelayananpublik.id- Jika Anda memiliki usaha yang menghasilkan suatu produk, terutama makanan dan minuman maka Anda perlu mendaftarkan produk anda ke Kementerian Agama (Kemenag), bukan lagi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini agar produk Anda mendapat sertifikasi halal.
Sebenarnya cakupan produk yang harus bersertifikasi halal bukan hanya sebatas makanan dan minuman saja. Produk lain seperti kosmetik, pakaian dan lainnya. Namun saat ini pemerintah Indonesia masih fokus pada produk makanan dan minuman.
Kenapa Produk Harus Bersertifikasi Halal?
Amanat Undang-undang
Semua produk makanan wajib mencantumkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Hal itu sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Pasal 4 UU No 33 Tahun 2014 berbunyi Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Dalam UU, BPJPH resmi beroperasi pada Kamis, 17 Oktober 2019. Ini sesuai pasal 67 dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH yang menyebutkan aturan harus berlaku lima tahun setelah UU ini disahkan.
Mengutip situs Kemenag.go.id, Rabu (16/10/2019), berikut garis besar penjabaran tentang ketentuan produk halal dalam UU nomor 33/2014:
Pasal 1
1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.
3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk.
5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk pemerintah untuk menyelenggarakan JPH.
7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama,dan cendekiawan muslim.
8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatanpemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.
9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.
10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.
11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.
12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia.
13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH.
14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Menambah Customer
Jika Anda memiliki produk yang telah bersertifikasi halal, maka pelanggan Anda akan berasal dari semua kalangan dan semua agama.
Namun jika tidak, mungkin mereka yang beragama muslim masih ragu-ragu dalam membeli produk Anda.
Menjauhkan Diri dari Tuduhan Pembohongan Publik
Sertifikat halal tidak bisa didapatkan secara sembarangan. Akan ada pemeriksaan terhadap barang dan bahan baku pembuatan produk Anda. Untuk itu, jika produk Anda sudah tersertifikasi halal, maka bahan bakunya juga halal dan baik. Artinya, tidak mengandung bahan nonhalal seperti lemak babi dan lainnya.
Bandingkan jika tidak ada, produk Anda bisa dicurigai nonhalal. Apalagi kalau memang Anda menggunakan bahan baku non halal dan Anda tidak memberi tanda yang jelas terkait itu, malah asal mencomot logo halal, maka Anda telah melakukan pembohongan publik.
Cara dan Prosedur Mengurus Sertifikasi Halal
Saat ini, proses sertifikasi halal masih dilakukan di bawah kendali Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada delapan tahap yang harus dilalui sebuah perusahaan jika ingin mendapat sertifikat halal dari MUI.
Salah satunya adalah perusahaan membuat Sistem Jaminan Halal (SJH). Sistem itu mencakup penetapan kebijakan halal, penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan manual SJH, pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit, dan kaji ulang manajemen.
Namun, mulai 17 Oktober 2019, proses sertifikasi bakal melibatkan BPJPH. BPJPH bertindak sebagai regulator, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) selaku auditor, dan MUI sebagai pemberi fatwa halal.
Berikut cara mengurus sertifikasi produk halal MUI:
1. Perusahaan mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada BPJPH.
2. Setelah permohonan diterima, BPJPH menetapkan LPH yang akan bertugas memeriksa atau menguji kehalalan produk.
3. LPH akan melakukan survey ke lokasi produksi dan melakukan penelitian terhadap bahan dan produk perusahaan.
4. LPH menyerahkan hasil penelitian ke BPJH.
5. BPJPH harus memberikan hasil pemeriksaan LPH kepada MUI.
6. MUI menggelar sidang fatwa halal untuk menentukan kehalalan produk yang diajukan.
7. Jika produk terkait dinyatakan halal, BPJPH berhak menerbitkan sertifikat. Produk yang dinyatakan tidak halal akan dikembalikan ke pemohon, disertai alasan dari MUI dan BPJPH.
Biaya Pengurusan Sertifikasi
Biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan sertifikat halal ini mungkin akan berbeda-beda di setiap daerah. Berikut adalah contoh estimasi biaya dari MUI Kepri:
1. Level A
Industri besar dengan biaya sertifikat Rp 2 juta hingga Rp 3,5 juta. Yang termasuk industri besar yaitu perusahaan yang memiliki karyawan di atas 20 orang.
2. Level B
Masuk ke dalam kategori industri kecil yaitu memiliki jumlah karyawan antara 10-20 orang. Biaya sertifikatnya sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta.
3. Level C
Usaha rumahan, masuk ke dalam level C yang jumlah karyawannya kurang dari 10 orang. Untuk level yang satu ini, kamu cukup merogoh kocek Rp 1 juta untuk memiliki sertifikat halal MUI.
Namun nominal di atas belum termasuk biaya:
– Auditor
– Registrasi
– Majalah Jurnal
– Pelatihan
– Penambahan biaya Rp 200 ribu jika perusahaan mempunyai outlet.
– Jika ada penambahan produk, maka akan dikenakan biaya yaitu Level A (Rp 150 ribu per produk), Level B (Rp 100 ribu per produk) dan Level C (Rp 50 ribu per produk).
– Biaya pelatihan, perusahaan sebesar Rp 1,2 per orang, sedangkan UKM sebesar Rp 500 per orang.
Penetapan pembiayaan tersebut sesuai dengan SK 02/Dir LPPOMMUI/I/13. Selain itu, buat para pemilik usaha kecil atau industri rumah tangga yang tidak mampu membayar pembiayaan, MUI biasanya memiliki kebijakan untuk subsidi pembiayaan. Jadi, kamu tetap bisa mendapatkan sertifikat halal MUI.
Demikian ulasan mengenai cara mendaftarkan produk ke MUI agar mendapat sertifikasi halal. Semoga bermanfaat. (*)