Pelayananpublik.id – Sosok tokoh pers perempuan asal Sumatera Utara [Sumut], Ani Idrus saat ini ramai diberitakan media massa setelah menjadi ikon google doodle. Media massa mengulas sosok Ani yang sebagian informasinya bersumber dari laman wikipedia.com.
Kebanyakkan berita berisi informasi karir Ani dan penghargaan yang diraihnya semasa hidup. Siapakah sosok Ani Idrus dan bagaimana perjuangannya di dunia pers hingga dia diapresiasi oleh google.com yang merupakan perusahaan muntinasional asal Amerika Serikat?
Ani adalah wartawati kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, 25 November 1918. Hajah Ani Idrus wafat di Medan, Sumatera Utara 9 Januari 1999 di usia 80 tahun. Ani Idrus mendirikan Harian Waspada bersama suaminya H Mohamad Said pada tahun 1947.
Dia juga mendirikan majalah Dunia Wanita pada 1949. Seorang saksi hidup, As Atmadi menceritakan bagaimana perjuangan Ani Idrus dalam mengabdi di dunia pers, terutama di Harian Waspada yang diketahuinya.
Ani dikenal memiliki sikap tegas saat menjalankan fungsinya sebagai pers. “Sikap hidup beliau tegas, tidak neko-neko terutama dalam fungsi kontrol sosial terhadap penguasa,” ujar Atmadi di kantor Ikatan Wartawan Online [IWO] Kota Medan, Senin 25 November 2019.
Dia mengatakan, Ani selalu berada di pihak rakyat. Baginya rakyat tidak boleh tersakiti oleh kekuasaan. “Bu Ani tidak mau berpolitik di dunia pers. Dia benar-benar independen dalam menjalankan fungsinya sebagai pers,” tambah As Atmadi, wartawan yang pernah mengabdi selama 30 tahun [1969-1999] di Harian Waspada.
Pasangan H Mohammad Said dan Hj Ani Idrus bersama-sama membangun Harian Waspada hingga pada zamannya, Harian Waspada jadi pionir surat kabar di Sumatera Utara. Surat kabar terbesar di luar Pulau Jawa.
Pasca Ani berpisah dengan Mohamad Said yang menjalani masa pensiun, Ani mengemban tugas menjalankan operasional Waspada sebagai Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Harian Waspada. Pemberitaan-pemberitaan yang diterbitkan Harian Waspada mencerminkan sikap Ani Idrus dalam menjalankan fungsi pers.
“Yang sangat diingat adalah ketika Harian Waspada yang dipimpin Bu Ani memberitakan soal Perang Teluk yang melibatkan Amerika Serikat dan Irak,” ujarnya.
Ani Kritik Keras AS Serang Irak
As Atmadi mengatakan, pada awal invasi Amerika Serikat [AS] terhadap Irak, hampir semua media massa di Sumatera Utara dan di Indonesia sebagian besar cenderung memihak kepada apa yang dilakukan AS terhadap Irak.
“Bu Ani membuat sikap yang menjadi sorotan di nasional dan internasional. Ketika seluruh media di Indonesia memihak kepada Amerika Serikat. Ibu Ani Idrus membuat pemberitaan memihak kepada penderitaan Irak yang dibombardir, dikeroyok AS melalui pasukan multinasional ciptaan AS,” kata dia.
Sikap pemberitaan di Harian Waspada soal Perang Teluk ternyata disambut baik oleh rakyat Indonesia. Kala itu, oplah Harian Waspada naik hingga 3 kali lipat.
“Setelah pemberitaan di Waspada kemudian diikuti oleh surat kabar lain di Indonesia dan beberapa surat kabar lokal lainnya. Bu Ani mampu menggiring opini publik terhadap perang teluk yang diciptakan oleh Amerika dan kroninya. Dia membuka mata dunia. Jangan Irak dijadikan sasaran tembak keegoisan Amerika yang pada waktu itu kata Bu Ani ingin menguasai minyak di Timur Tengah dan Irak berusaha dijatuhkan pasukan multinasional,” terang Atmadi.
Sikap Ani terhadap Perang Teluk itu sempat ditentang oleh beberapa awak di redaksi Waspada. Namun dalam rapat redaksi, Ani menjelaskan pandangannya terhadap Perang Teluk hingga akhirnya mendapat dukungan dari anggota redaksi.
Sikap Ani mengkritisi Amerika yang menginvasi Irak, tidak hanya muncul dalam setiap pemberitaan, tajuk [editorial], tetapi juga di banyak karikatur yang dilukis alumni FH USU Denny Adil, kala itu.
Namun sangat kontras saat ini dengan apresiasi yang diberikan oleh Goolge, perusahaan multinasional asal Amerika Serikat. “Apresiasi dari google menunjukkan Amerika bersikap demokratis ke mata dunia. Selain itu Hj Ani Idrus pantas mendapatkannya, setelah perjuangannya yang panjang sebagai wanita dalam dunia pers,” tutur As Atmadi yang kini menjabat Ketua Dewan Etik IWO Medan.
Tokoh Pers Visioner
Menurut pengalaman As Atmadi bersama Hj Ani Idrus, wartawan senior perempuan ini merupakan sosok yang visioner dalam dunia pers. Ketika era komputerisasi masuk ke Indonesia, Ani Idrus menekankan kepada redaksi agar menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Seluruh wartawan dan anggota redaksi dikursuskan komputer. Lalu segera diaplikasikan. Seluruh mesin ketik yang sudah berjasa lama diangkut ke gudang. Untuk itu Harian Waspada harus mengorbankan waktu terbitnya koran yang semula terbit sekira pukul 04.00 WIB menjadi pukul 09.00 WIB.
“Saat penyesuaian ke komputerisasi, Waspada mengorbankan waktu terbitnya. Namun itu hanya berlangsung selama tiga hari. Itu menjadikan Waspada menjadi surat kabar yang pertama menggunakan sistem komputerisasi di Sumut,” terang Atmadi.
Saat orde baru, Ani juga mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan [STIKP]. Di sekolah tinggi itu, ada 2 jurusan, yakni jurusan jurnalistik dan kehumasan.
Saat membangun sekolah tinggi itu mendapat tanggapan miring beberapa pihak pesimis terhadap masa depan pers di Indonesia pada zaman orde baru. “Bu Ani mengatakan, di massa depan pers harus merdeka, di situlah alumni STIKP berperan,” kata Atmadi menirukan ucapan tegas Ani Idrus. Atmadi ikut menjadi dosen STIKP sejak awal.
Jago Masak dan Benci Rokok
Saat orde baru, Harian Waspada tetap menjalankan fitrahnya melalukan sosial kontrol. Walaupun intervensi dari penguasa kala itu sudah hal yang biasa. Bahkan Atmadi sampai kena batunya.
“Saya beberapa kali ditunjuk untuk mewakili Waspada terkait pemberitaan yang dikecam aparat. Kerah baju saya pernah sampai diremas dan diangkat saya nyaris dibanting. Untung ada Ketua PWI Muhammad Yazid yang menarik saya, waktu itu saat dipanggil aparat, sambung Atmadi.
Ani Idrus paling benci perokok apalagi yang membuang puntung rokoknya sembarangan di lantai kantor. “Dia sangat marah kalau melihat ada puntung rokok yang dibuang sembarangan. Dia berteriak hingga pecah kabar sebuah negeri, dan serentak karyawan mengutip puntung rokok itu, “ ungkap As Atmadi dengan senyum.
Untuk Harian Waspada, dia tidak jarang pulang malam dari redaksi. Dan mengontrol sampai ke percetakan. “Kalau Waspada terlambat terbit, Bu Ani datang ke Percetakan. Menyetop sudako [angkot] di depan rumahnya Jalan Sisingamangaraja [simpang Pelangi Medan]. Sudako dicarter untuk mengantarkannya ke Sidorukun dinihari menjelang subuh.
Selain itu, sebagai ibu rumahtangga Bu Ani masakannya enak, terutama masak rendang jengkol. Dia sering mengajak teman-teman wartawan dan anggota redaksi makan di rumahnya,” kata Atmadi mengenang massa lalu itu.
Harian Waspada Terbakar Habis, Ani Pindahkan Redaksi ke Halaman Rumah
Ketangguhan Ani sebagai tokoh pers perempuan juga terlihat saat menyikapi terbakar habisnya kantor Harian Waspada. Kala itu banyak pihak yang pesimis Waspada akan terbit kembali dalam waktu yang lama. Bahkan hal itu disiarkan beberapa surat kabar tidak terbit dalam waktu lama. Apa yang terjadi?
“Ibu Ani pada waktu itu tidak mau bertekuk lutut akibat kebakaran yang menghabiskan kantor dan seluruh persiapan cetak koran. Wartawan dan redaksi dibawa ke rumahnya. Mendirikan tenda dan parasut di halaman depan serta samping rumah,” kata Atmadi.
Disebutkan Atmadi. Koran Waspada numpang cetak di Mimbar Umum, besoknya terbitlah koran Waspada jadi hitam putih 8 halaman. “Isinya lebih banyak kisah terbakarnya Waspada. Laris kayak kacang goreng,” cerita Atmadi.
Jadi setelah kebakaran, besoknya Waspada tetap terbit dengan kerja keras seluruh awak Waspada dipimpin Hj Ani Idrus yang ikut tidak tidur semalaman. Tapi ada satu wartawan yang mengira Waspada baru bisa terbit dalam waktu yang lama. Wartawan itu pulang kampung. Tiga hari dikampung, diingatkan seorang camat bahwa Waspada tetap terbit.
“Seperti dikejar Singa, dia melompat dan segera ke Medan. Menemui Bu Ani dan minta maaf, tidak menyangka Waspada tetap terbit. Ibu Ani hanya tersenyum dan menyuruh wartawan itu segera makan siang yang sudah disediakan,” kata dia.
Atmadi yang juga dosen Universitas Sumatera [USU] ini mendeskripsikan suasana saat kantor redaksi sementara di halaman rumah Ani Idrus. Tenda dan payung terjun tentara didirikan di depan, samping dan belakang halaman rumah. Sedangkan beberapa ruangan di dalam rumah dibuat untuk ruang kasir dan pemasaran, serta manajemen.
Ani Idrus dan Mohamad Said Sangat Dihormati
“Ya kantor redaksinya di tempat terbuka, beratapkan tenda. Saat malam dingin, tak perlu pakai ac. Kalau hujan agak becek-becek sedikit,” ujar Atmadi sembari tertawa kecil.
Ada hal yang membuat dosen Universitas Sumatera Utara (USU) ini terenyuh dengan sikap Ani Idrus.
Kala kantor Harian Waspada terbakar, Ani tetap memperjuangkan hak-hak wartawan yang mengabdi.
“Walaupun kantor terbakar, tapi Bu Ani tidak mau mata pencaharian wartawan hilang. Di saat-saat genting itu malah gaji karyawan di Waspada naik. Saat itu Bu Ani menunjukkan sikapnya dalam menghargai wartawan,” terang Atmadi.
Kondisi redaksi yang dipindah sementara di halaman rumah keluarga Ani berlangsung selama 3 tahun sebelum akhirnya kantor Harian Waspada kembali dibangun setelah mendapat dana asuransi.
Atmadi yang merupakan murid dari Mohamad Said itu menceritakan Ani Idrus sempat menjalani perawatan beberapa kali di rumah sakit sebelum akhir khayatnya.
Ani Idrus meninggalkan 6 orang anak dari suaminya Mohamad Said. Anak-anak dari Ani dan Said saat ini yang menjalankan Harian Waspada.
“Bu Ani meninggal setelah pak Said meninggal dunia lebih dulu. Mereka berdua sangat dihormati. Nama mereka dikenang dan dijadikan nama jalan di kota Medan. Jalan Durian menjadi Jalan H Mohammad Said, Jalan Pandu menjadi Jalan Hj Ani Idrus,” tukas As Atmadi.
Tak berselang lama setelah Ani Idrus meninggal dunia. Di tahun yang sama Atmadi pun pensiun dari Harian Waspada. (IWO Medan)