Masyarakat Keberatan Iuran Naik, Dirut BPJS: Beli Rokok Kok Bisa

Pelayananpublik.id- Masyarakat mengeluhkan rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS. Kenaikan iuran itu, karena hingga kini BPJS selalu tumpur hingga harus mendapat subsidi yang sangat besar dari pemerintah.

Menaikkan iuran pun dianggap menjadi jalan satu-satunya untuk menutupi kerugian tersebut.

Dirut BPJS Kesehatan, Fahmi Idris mengatakan angka kenaikan iuran tersebut masih wajar. Dan seharusnya tidak dianggap memberatkan oleh masyarakat.

Pasalnya, sejak tahun 2014 ketika program BPJS Kesehatan dimulai, besaran iuran tidak sesuai dengan hitungan aktuaria pengelolaan risiko keuangan yang berujung pada semakin membengkaknya defisit.

“Tidak ada jalan lain bahwa untuk menyelamatkan program ini, untuk menyelamatkan hidup teman-teman kita yang sakit seperti tadi, itu adalah dengan menyesuaikan iuran,” katanya dilansir dari Vivanews.

Ia mengatakan apabila nantinya iuran naik, setiap peserta bisa menyesuaikan kembali kepesertaan mereka berdasarkan kemampuan mereka.

“Kelas I, kelas II, kelas III, itu kan sama, pelayanan medik nggak ada beda. (Yang) berbeda kan hanya ruang perawatan saja,” ujarnya.

“Jadi, kalau ada keberatan misalnya menyisihkan Rp5 ribu per hari itu berat, opsinya terbuka untuk memilih menjadi Rp3 ribu-an per hari.”

Fahmi meminta masyarakat mulai membentuk pola pikir baru terkait jaminan kesehatan mereka.

“Bayar parkir motor Rp2 ribu sehari atau beli rokok Rp8 ribu sehari masih bisa, tapi kok menyisihkan Rp5 ribu per hari kok tidak ada kesadaran itu, padahal ini kan penting untuk dirinya,” kata dia.

Sebelumnya, Budi Hidayat, pakar ekonomi dan asuransi kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menganggap bukan hal aneh apabila BPJS Kesehatan memutuskan untuk menaikkan iurannya.

Defisitnya BPJS Kesehatan, kata dia, memang sudah bisa terprediksi dari semenjak program tersebut mulai dijalankan lima tahun lalu.

“Besaran iuran yang ditetapkan pada waktu itu, pada tahun 2014 juga tahun 2016, itu meleset jauh dari angka yang dihitung oleh aktuaris.”

Kini, dengan rencana untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan, Budi berpendapat bahwa yang menjadi pekerjaan rumah badan hukum publik itu adalah bagaimana membuat masyarakat merasa terikat untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai pemegang premi.

“Gimana kita membuat sebuah sistem JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) itu (bersifat) wajib, tapi dicari orang.

“Gimana kita bayar iuran itu menjadi sebuah kewajiban, karena ada sesuatu yang akan diraih,” imbuh Budi

Biang Kerok Defisit BPJS Kesehatan

Wamenkeu, Mardiasmo mengatakan ada beberapa biang kerok yang memicu BPJS selalu tumpur yakni Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri, yang berjumlah sekitar 32 juta orang.

Ia bahkan menyebut peserta mandiri itu ada kelompok Jelita dan Jelata. Kelompok Jelita ini adalah mereka peserta mandiri namun terus menunggak. Bahkan mereka hanya mendaftar ketika sakit, setelah mendapat pelayanan kesehatan mereka berhenti membayar iuran.

Sedangkan peserta Jelata adalah peserta mandiri yang memenuhi kriteria miskin atau hampir miskin yang karenanya bisa dipindahkan ke dalam kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI).

“Inilah yang sebenarnya sumber membawa BPJS itu defisit, karena dia menggunakan yang disebut dengan adverse selection , dia hanya mendaftar pada saat sakit dia mendaftar, dan setelah mendapat layanan kesehatan dia berhenti membayar premi,” ungkap wakil dari Sri Mulyani itu.

Terkait berhentinya seseorang membayar BPJS tentu ada beragam alasan tak melulu karena “nembak” (setelah sembuh langsung nunggak). Ada juga orang yang merasa kecewa dengan pelayanan rumah sakit terhadap pasien BPJS.

Jaka misalnya, seorang peserta mandiri BPJS asal Garut yang kini tinggal di Jakarta, punya alasan lain untuk tidak melanjutkan pembayaran premi miliknya.

“Kalau dulu sih pakai BPJS enak, enggak ribet . Kalau sekarang, tiga bulan sekali harus ada pembaruan ke daerah – (pembaruan) rujukannya,” kata pria 30-an tahun yang sedang menemani istrinya kontrol di RSCM itu (07/10).

Selama tiga tahun terakhir, sang istri secara rutin berobat di RSCM untuk memeriksakan penyakit tiroid yang dideritanya. Menurutnya, sudah empat bulan terakhir, ia tidak lagi menggunakan BPJS Kesehatan untuk berobat karena merasa dipersulit.

“Udah (urus) di Garut, terus ke Bandung dulu, terus ke sini. Ribet, nggak ada waktu,” ujarnya, dikutip dari Vivanews.

Lagi pula, tuturnya, waktu yang ia habiskan untuk berobat saat menggunakan layanan BPJS Kesehatan tidak seefisien jika melalui jalur umum, alias membayar penuh dari kocek sendiri.

“(Kalau BPJS) dari subuh sampai jam tiga (sore), baru selesai. Kalau sekarang enggak pakai BPJS, satu jam juga nggak,” pungkasnya. (*)

Sumber: Viva News