Pelayananpublik.id- Jaminan kehalalan produk bukan hanya mencakup makanan dan minuman. Obat-obatan juga termasuk produk yang harus terjamin halal.
Hal ini telah tercantum dalam pasal 8 PP No. 31 tahun 2019.
Pemerintah juga akan terus mendorong perusahaan farmasi agar memperhatikan kehalalan produk mereka dan mengurus sertifikat halal.
Begitupun, sebanyak 98 persen obat-obatan masih belum terjamin halal.
Terkait usaha mendorong perusahaan farmasi untuk jaminan produk halal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah melakukan upaya kerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan penyebaran informasi kepada industri farmasi, mengenai adanya Undang-Undang No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Farmalkes) Kemenkes RI, Engko Sosialine Magdalene, mengatakan dalam kerja sama itu, kata dia, akan ada fasilitas sertifikat halal bagi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
Lalu merekomendasi pencabutan Sertifikat Halal dan Label Halal bagi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga, yang tidak sesuai aturan.
Serta tugas lain yang terkait dengan penyelenggaraan JPH sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
Menurut dia, obat-obatan yang beredar di masyarakat ini harus terjamin keamanan, khasiat, manfaat, dan mutunya. Untuk itu pembuatan obat-obatan mulai dari produksi, peredaran, distribusi, hingga penyerahan harus dilakukan sesuai standar dan persyaratan.
“Dalam hal peredaran, obat-obatan harus memperoleh izin edar dari BPOM (Badan Pengawas Obat-Obatan dan Makanan). Selain itu, terkait standar atau persyaratan juga harus memenuhi ketentuan mengenai penandaan atau label yang diatur oleh BPOM,” papar Engko.
Terkait total hampir 98 persen obat-obatan yang masih belum bisa dipastikan kehalalannya, ia kembali mengacu pada ketentuan PP No. 31 tahun 2019, dimana disebutkan sertifikasi halal untuk obat-obatan tidak dilakukan oleh Kemenkes RI, melainkan oleh lembaga yang berwenang.
(Nur Fatimah)